Rajutan Kisah Kasih yang Tersimpan

Rajutan Kisah Kasih yang Tersimpan

KASTANEWS.COM: Mereka berdua adalah karibku.  Jodoh menyatukannya.  Dan inilah kisah mereka yang dituangkannya dalam karib.id.

Tak mudah untuk kembali mengurai ulang kisah perjalanan kasih kami. Selain harus ekstra mengingat, mengurut kembali peristiwa 30 tahun yang lampau, tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi sejujurnya sudah tak ada lagi kenangan bergambar (foto) yang tersisa dari masa lalu, pun terbersit di hati terdalam.

Ada tanya dalam hati yang diam-diam mengganggu. Untuk apa ya, berbagi kisah kasih kami saat SMA dulu..?? Pertanyaan itu terus menggayut sementara larikan huruf-huruf ini seperti tersusun dengan sendirinya.

Jemari terus menari. Menyusun kata demi kata. Sambil terus berpikir keras untuk kembali menyatukan kisah lalu. Kepingan-kepingan kisah kucoba untuk satukan.  Cerita yang pernah terburai, kembali kucoba susun menjadi untaian kisah kasih kami.

Jujur, ini semua desakan teman yang tak berujung. Seperti tak lelah meminta agar kami sudi berbagi kisah. Teman ini keras kepala rupanya. Ngeyelan. Hanya karenanya, aku coba untuk menuruti. Semoga bisa menjadi cerita yang lebih banyak manfaatnya dari pada mudhoratnya.

Di sini aku hanya ingin menyatakan, bahwa tulisan ini bukan berarti kami lebih hebat dalam hal membina hubungan dengan pasangan. Karena pada dasarnya, tidak ada suatu apapun di dunia ini yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Sang Khalik.

Kisah kasih kami berawal dari kelas 2 SMA di 82 Daha Jakarta. Saat itu aku penghuni kelas 2A3.3. Sama sekali aku tidak mengenal laki-laki yang bernama Ananda Sunaryadi. Nanda, begitu dia akrab disapa, adalah anak kelas 2A3.1.

Dari hari ke hari, mulailah Ananda titip salam lewat beberapa teman.  Di usia remaja yang beranjak dewasa, rasa penasaran itu muncul juga. Siapa sih yang suka titip salam itu? Yang mana sih orangnya?  Kayak apa sih manusianya?  Cakep kah? Tampankah? Segudang tanya kerap menggelitik di tiap titipan salam singgah di telingaku.

Saat yang ditunggu akhirnya datang juga. Kamipun bertemu. Kami berkenalan. Ada degup yang tiba-tiba bertalu.  Apalagi Ananda secara terbuka menunjukkan pendekatannya. Gencar dia meneror. Lewat telphone, datang ke rumah, meski awalnya harus keroyokan minta ditemani teman-temannya. Hingga akhirnya, ‘jadian’ itu benar-benar terjadi. 25 Agustus 1985 adalah tanggal sakral yang tak pernah terlupakan hingga kini.

Hari-hari kami lalui dengan penuh warna. Ada suka ada duka. Ada kecewa ada bahagia. Kami menjalaninya dengan suka cita. Mungkin saat itu, kami belum benar-benar memahami makna itu semua.  Waktu yang akhirnya memberikan petunjuk dan jawaban atas kisah dulu kami.

Saat lulus SMA, kami sempat pisah kuliah. Frekuensi bertemu agak kurang, karena kesibukan masing-masing. Masa pacaran kami juga berjalan amat biasa. Tidak harus bermalam minggu. Kami bisa makan nongkrong di mana saja tanpa harus ke resto atau suasana romantis. Prinsipnya, kami tidak pernah pergi malam melebihi jam 22.00. Bahkan sangat bisa dibilang, pacaran kami mengalir datar.

Meski terlihat datar, sesungguhnya kisah kasih kami penuh dinamika. Bahkan bila ada yang bilang kami pasangan yang cocok, itu salah besar. Enggak cocok. Dua anak kemar saja bisa sangat berbeda. Kamipun berbeda. Bahkan bisa dibilang bertolak belakang. Nanda introvert. Sementara aku extrovert. Kadang aku ekspresif, dan sedikit narsis.

Sejujurnya, kami sering salah paham. Ego kami kerap kali seperti tidak bisa dihalangi. Karena secara kebetulan, kami berdua memang sama-sama anak bungsu di keluarga. Bahkan kami kerap ‘putus-nyambung’.  Ada saat bertemu, namun ada saatnya juga berpisah. Ditinggalkan dan meninggalkan.

Entah apa yang membuat kami harus kembali lagi. Merajut ulang kisah kasih kami. Menata kembali emosi yang pernah meletup.  Mendinginkan amarah yang pernah meluap.

Pada satu titik, aku akhirnya benar-benar memahami, bukan hanya mengerti, bahwa ini semua berkat satu kata. MAAF. Kata maaf itulah yang kemudian menyatukan kami kembali.  Meminta maaf dan memberi maaf, mejadi sesuatu yang sangat mahal dan bisa mengurai semua perbedaan.  Pada titik itulah hati kami akhirnya selalu ikhlas menerima kekurangan pasangan dan suratan Illahi.

Rabu, 24 September 1997 kami menikah di Jakarta. Tuhan menyatukan kami dalam ikatan perkawinan.

Waktu berjalan. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Jarak akhirnya memisahkan kami dalam pekerjaan. Aku di Jakarta, sementara Nanda di Pekan Baru.  Setelah itu Nanda harus ke Bandung. Sampai aku mengandung anak pertama sekalipun, kami dipisahkan karena pekerjaan.  Bertemu hanya seminggu sekali.

Namun semua itu harus kami jalani dengan sederhana. KEPERCAYAAN.

Ya, kepercayaan. Sungguh sejak awal pacaran kami memang tidak muluk-muluk karena kami sangat menyadari, bahwa kami adalah dua pribadi yang berbeda.  Anak-anak kamipun lahir. Tumbuh dengan penuh kasih sayang. Doa-doa kami melumuri nafasnya. Mereka terus beranjak dewasa. Sekarang sudah ABG.

Teman, kami hanyalah pasangan biasa dengan karakter masing-masing.  Kami hanya ingin mencoba menjalani peran kami masing-masing dengan ikhlas. Kami terus dan tetap belajar dari tiap perbedaan dengan SALING. Kami tetap belajar menerima arus yang harus dilajani. Ridho Illahi menjadi kata kunci permohonan dalam tiap kali kami berdoa agar kami bisa melewati semua jalan kehidupan hingga maut memisahkan.

Dengan segenap kerendahan hati terdalam, tanpa ada secuilpun niat untuk menggurui, kisah kasih kami ini hanya sebuah penggalan kisah biasa anak-anak manusia. Maaf tak terkira bila ada yang kurang berkenan.

Endah Setyorini Goenawan dan Ananda Sunaryadi Soenarno adalah teman kami, alumni SMA 82 Daha Jakarta. Sungguh tak ada yang menduga. Begitu indah kisah kasih kalian. Kami senang membacanya. Ada banyak kisah yang bisa kami petik untuk melanjutkan hidup kami. Di sana ada Kepercayaa, ada Saling, ada Maaf, ada Ikhlas, ada Ridho Illahi yang menjadi pijakan di saat tiang sampan goyang karena badai.

Selamat menjalani hari hari bahagia. (karib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *