Politik Penebusan Anies Baswedan

Politik Penebusan Anies Baswedan

Penulis: Surono

Kastanews.com: SEBELAS tahun yang lalu, sebuah film produksi Indonesia menjadi perhatian dunia. The Raid yang dikategorikan film laga tampil pertama di festival film Toronto (2011). Ceritanya tentang aksi heroik kepolisian untuk membekuk gembong narkoba yang berakhir justru dengan terbongkarnya daftar hitam polisi korup. Sony Picture sempat mengganti judul film ini menjadi The Raid: Redemption untuk distribusi di wilayah Amerika Utara.

Redemption atau penebusan (dalam bahasa Indonesia) pernah ditulis oleh Max Weber (1964) dalam Essay in Sociology. Weber mengatakan, “Konsep penebusan merupakan gagasan tua dalam maknanya sebagai pembebasan dari kesusahan, kemelaratan, kekeringan, penyakit, dan akhirnya dari penderitaan dan kematian. Namun dia akan mencapai makna pentingnya ketika dia mengungkapkan “citra dunia” yang sistematis dan rasional serta mewakili pendirian di hadapan dunia”.

Salah satu “makna penting” redemption seperti disampaikan Max Weber dapat kita lihat kembali dalam jurnal yang ditulis Lewis A Dunn (1975) tentang politik luar negeri Amerika Serikat. Dia mengulas kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat pasca perang dunia yang menurutnya berada dalam benturan antara ide globalis (global constraints) dan ide politik penebusan (redemptive activism). Dalam Past as Prologue: American Redemptive Activism and the Developing World pemahaman sejarah Amerika untuk “politik penebusan” yang menjadi stand poin Dunn memandang politik luar negeri Amerika. Dari sini, liberalisasi individual dan demokratisasi yang juga memiliki jejak kesejarahan di Amerika dihadap-hadapkan dalam bahasannya. Dunn sendiri mengusulkan “pembatasan” yang seimbang di antara kedua gagasan dasar poltik luar negeri Amerika sebagai solusinya.

Cerita politik paska black lives matters, populisme dan kemenangan Obama, kemenangan Ikhwanul Muslimin, holocaust di Jerman, adalah hal yang dapat kita lihat dalam perspektif politik penebusan. Ada pelajaran dari manusia dalam sejarah yang menjadi dasar bagi pembentukan kebijakan politik. Betapa pentingnya memahami konstruksi manusia dalam perjalanan sejarah membuat “penebusan” menjadi bahasan di dalam perpolitikan. Pemimpin yang memahami manusia dalam sejarahnya tentu akan menjadi pilihan yang tepat untuk menanti kebijakan publik yang menjejak di masa lalu, tanggap terhadap masa kini, dan memberi pondasi untuk masa depan.

 

Melunasi Janji Kemerdekaan

Dalam era saat ini, di mana politik populisme semakin mengarah pada politisasi sentimen, kebencian, dan dendam, perlu ada pemikiran dan langkah korektif. Populisme politik sebagai anak demokrasi representatif semakin dirasa perlu untuk diperbaiki. F Silva&Vieira (2018) dalam Populism and the Politics Redemption mengusulkan langkah perbaikan tersebut dengan memasukkan redemptive politics. Kegusaran Silva&Vieira terhadap politik populis diletakkannya di dalam nuansa dendam yang melibatkan kemarahan, kecemburuan, dan sentimen. Kegusaran yang hampir sama dirasakan oleh banyak kalangan termasuk di Indonesia.

Dalam keresahan terhadap politik populisme dan alpanya perspektif politik penebusan (redemptive) itulah, nama Anies Baswedan (AB) di Indonesia memiliki magnet yang besar. Dia dituding-tuding sebagai “bapak politik identitas” oleh yang berseberangan dengannya. Walau tidak ada satupun bukti otentik kebijakan yang mendiskriminasi muncul di era kepemimpinannya yang bisa dijadikan rujukan tudingan dari pihak berseberangan.

Justru rujukan jejak digital yang masih bisa dilihat adalah bagaimana AB dalam berbagai kesempatan menyampaikan pesan “melunasi janji kemerdekaan.” Jejak ini misalnya bisa dilihat saat pidatonya meresmikan “kampung akuarium” di Jakarta Utara. Jejak lainnya juga terpatri saat Anies dengan sadar memberi pembebasan pajak PBB 2-3 generasi bagi veteran, guru, perintis kemerdekaan, penerima gelar pahlawan, penerima tanda kehormatan, mantan presiden/wapres, mantan gubernur/wagub, purnawirawan TNI/Polri dan Pensiunan ASN.

“Melunasi janji kemerdekaan” yang AB nyatakan di berbagai waktu dan kesempatan bukanlah pernyataan kosong yang tidak bisa dilacak jejaknya. Justru sebaliknya, inilah kesadaran politik penebusan yang bersemayam di pikiran dan langkahnya. Sebagai doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, Amerika Serikat, tentu Anies tidak asing dengan wacana populisme politik yang berakar di Amerika seperti kajian John D. Hicks’ The Populist Revolt (1931) atau manifesto “Populist Party” (1890) di Amerika dan literatur politik sejenis lainnya.

Bahkan dalam konteks Indonesia, jejak persinggungannya dengan para pelaku sejarah kemerdekaan Indonesia mulai dari keluarga besarnya, hingga tokoh-tokoh republik tampak jelas membekas dibenaknya. Bahkan dalam langkah politiknya pun jejak pemahaman AB terhadap akar sejarah dan pandangannya tentang masa depan Indonesia dapat dicermati.

Pembangunan kualitas manusia Indonesia yang selalu didengungkan AB sebagai program politiknya tidak terlepas dari penguasaannya terhadap politik penebusan. AB adalah saksi mata tentang bagaimana problem rendahnya pendidikan di masa lalu yang berakibat sosial kesulitan, penderitaan, dan sekaligus perlawanan dari rakyat. Dia menjadi saksi bagaimana orang-orang berpendidikan baik mampu memberi solusi perubahan sosial di masyarakat lewat persinggungannya dengan tokoh-tokoh pergerakan di masa orang tua dan kakeknya.

Lahir dan dibesarkan oleh tokoh pergerakan dalam lingkungan yang juga sarat dengan aktivitas pergerakan di Yogyakarta, sejarah bukanlah mitos atau kisah semata dalam benak AB. AB tahu benar betapa menderitanya para pejuang yang ikut memerdekaan Indonesia. Dia sangat menjiwai banyaknya pengorbanan yang telah diberikan oleh para pejuang kemerdekaan, karena itu pula dia merasa perlu “melunasi janji kemerdekaan” yang dipatrikan para pendiri bangsa. Kakeknya AR Baswedan, seorang pahlawan nasional yang wafat tanpa meninggalkan sebuah rumah untuk anak cucunya, adalah salah satunya.

Bagi AB, sejarah menjadi pondasi perjuangan dan program politiknya. Aktivitas pergerakannya sejak mahasiswa hingga terjun dalam politik kekuasaan menorehkan jejak politik penebusan yang dapat kita pelajari. Dia sudah bertindak di Jakarta dan kali ini ingin melakukannya dalam skala Indonesia.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *