Subsidi Mobil Listrik, Gobel Minta Pemerintah Dengarkan DPR  

Subsidi Mobil Listrik, Gobel Minta Pemerintah Dengarkan DPR  

JAKARTA (Kastanews.com)- Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmad Gobel, mengingatkan pemerintah untuk mendengarkan suara yang muncul dari DPR tentang subsidi mobil listrik.
“Lima fraksi di DPR sudah menyuarakan secara resmi dalam forum resmi tentang subsidi mobil listrik. Lima fraksi itu berarti sudah suara mayoritas di parlemen. Sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan maka ini juga berarti suara mayoritas rakyat Indonesia,” tegas Gobel dalam keterangannya, Kamis (25/5).
Pada rapat paripurna DPR pada Selasa (23/5), sembilan fraksi di DPR menyampaikan pemandangan umum menanggapi keterangan pemerintah tentang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal RAPBN Tahun Anggaran 2024. Dari sembilan fraksi itu, lima fraksi menyoroti rencana pemerintah memberikan subsidi untuk mobil listrik. Lima fraksi tersebut adalah PDIP, Partai NasDem, Partai Demokrat, PKS, dan PAN.
“Suara konstruktif DPR ini menunjukkan cinta DPR terhadap pemerintah dan Bapak Presiden Joko Widodo. Ini untuk menjaga performa Bapak Jokowi yang selama ini dikenal sebagai pemimpin yang memihak rakyat kecil. Jangan sampai di akhir masa jabatannya ada pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan,’’ tegas Gobel.
Legislator NasDem itu menambahkan, dengan keterbatasan anggaran, banyak proyek strategis yang lebih membutuhkan perhatian seperti pembangunan daerah perbatasan, IKN, dan lain-lain. Subsidi mobil listrik itu, tambah Gobel, tidak sesuai dengan visi dan misi Presiden Jokowi karena subsidi tersebut untuk orang kaya. ‘’Yang kita soal adalah subsidinya, bukan kebijakan mobil listriknya,” tegas Gobel.
Legislator NasDem dari Dapil Gorontalo itu memgatakan, lima Fraksi DPR itu menilai, lebih baik subsidi tersebut diberikan kepada pihak-pihak yang lebih prioritas dan mendesak untuk mendapatkan bantuan, misalnya petani, nelayan, peternak, dan UMKM.
Gobel juga mengatakan, pada 2023 ini, ekonomi dunia akan mengalami kontraksi. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan tumbuh 2,9%. Angka itu lebih rendah dari tahun 2022 yang mencapai 3,4%. Sedangkan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), organisasi perdagangan dunia,  memiliki proyeksi yang lebih rendah lagi. Ekonomi dunia pada 2023 akan tumbuh 2,2%, sedangkan 2022 tumbuh 3,1%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 ini juga diperkirakan mengalami pelambatan. IMF memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 4,8%, lebih kecil dari 2022 yang 5,3%. Sedangkan ADB memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,8%, lebih kecil dari tahun sebelumnya 5,4%.
Sedangkan OECD memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2023 ini akan tumbuh 4,7%, lebih rendah dari tahun sebelumnya 5,3%. Bank Indonesia memperkirakan ekonomi Indonesia bergerak antara 4,5%-5,3%. Pemerintah Indonesia sendiri memperkirakan ekonomi akan tumbuh 5,3%.
Pada kuartal pertama 2023 ini, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03%. Pada sisi lain, angka inflasi dunia dan domestik diperkirakan akan meningkat. Ini artinya ada kenaikan harga-harga barang.
“Dari angka-angka itu sangat jelas bahwa kita harus hati-hati dalam melakukan politik anggaran. Subsidi harus diberikan untuk yang prioritas dan mendesak, apalagi dalam kondisi ekonomi yang tertekan seperti saat ini dan ke depan,” katanya.
Selain itu, kata Gobel, Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang besar. “Untuk bisa lepas dari middle income trap, ekonomi harus tumbuh minimal 6 persen. Sedangkan kita cuma bisa meraih 5 persenan. Tidak heran jika statistik kita tentang pendapatan perkapita, angka kemiskinan, tingkat pengangguran, dan kualita sumberdaya manusia berada pada angka yang tak beranjak jauh,” katanya.
Sebagai contoh, kata Gobel, tingkat kemiskinan yang ditargetkan di angka 6-7%, ternyata faktanya justru di angka 9,57%. Target tingkat pengangguran terbuka yang dipatok 3,6-4,3%, ternyata masih di angka 5,86%. Adapun pendapatan per kapita Indonesia saat ini berada pada angka US$4.783. Angka tersebut masih jauh dari batas sekitar US$12 ribu untuk bisa disebut sebagai negara maju.
“Untuk membangun kemakmuran kita harus fokus membantu masyarakat yang berada di sektor-sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan UMKM. Mulai dari bantuan permodalan, infrastruktur, hingga insentif bunga. Suku bunga UMKM kita masih terlalu tingggi,” pungkas Gobel.(rls/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *