Proporsional Tertutup Sebuah Kemunduran Demokrasi

Proporsional Tertutup Sebuah Kemunduran Demokrasi

Oleh: DR Atang Irawan, Pakar Hukum Tatanegara

JAKARTA (Kastanews.com): Sistem Proporsional Tertutup sesungguhnya meletakan rakyat sebagai objek dari kontestasi politik, sehingga menggerus daulat rakyat dan kembali menjadi daulat tuan. Padahal konstitusi kita sudah lebih maju meletakan kedaulatan rakyat tidak hanya sebagai norma konstitusional tetapi moralitas konstitusional.

Rakyat tidak lagi menitipkan kedaulatannya pada institusi tertentu, seperti sebelum amandemen diserahkan kepada MPR. Jika saat ini kedaulatan rakyat diserahkan kepada partai politik melalui sistem proporsional tertutup, maka ini adalah langkah mundur dalam perjalanan sejarah pertumbuhan demokrasi di republik ini.

Jika memperhatikan dinamika kontestasi politik dari tahun 2014 mengalami perkembangan yang cukup baik, karena pemilh caleg 71,4% sedangkan pemilih partai hanya 28,6%. Demikian halnya pemilu tahun 2019 Pemilih Caleg 73,9% dan pemilh partai hanya 26,1%, sehingga yang mengatakan proporsional terbuka menyulitkan rakyat untuk memilih hanyalah pandangan yang skeptis terhadap daulat rakyat dan bahkan menganggap rakyat tidak cerdas dalam berdemokrasi.

Sistem Proporsional Terbuka justru membuat partisipasi pemilih semakin menunjukan kenaikan yang signifikan dibanding proporsional tertutup. Misalnya saja pemilu tahun 2014, partisipasi pemilih sekitar 75.11% sedangkan pemilu tahun 2019 adalah 81,93%.

Mari sama-sama kita ingat, bahwa dengan porporsional tertutup akan berimplikasi tergerusnya keterwakilan perempuan yang saat ini semakin menunjukan peningkatan yaitu sebanyak 120 perempuan terpilih untuk duduk di Senayan. Jumlah itu setara dengan 20,87% dari total anggota DPR yang sebanyak 575 orang.

Jika memerhatikan keterpilihan incumbent dalam setiap kontestasi politik, tidak lebih dari 60% pada setiap lembaga perwakilan rakyat. Ini sesungguhnya menunjukan bahwa fungsi kontrol rakyat terhadap wakil semakin maju, karena jika wakil tidak memperjuangkan aspirasi rakyat, maka rakyat dapat mengoreksi di pemilu yang akan datang dengan tidak memilik wakilnya kembali. Justru inilah sebuah kemajuan demokrasi karena pada prinsipnya kontrol sosial merupakan urat nadi demokrasi.

Memilukan memang jika elit politik memandang rakyat memiliki kendala dalam memilih dengan sistem proporsoinal terbuka, seolah rakyat diletakan sebagai mahluk politik yang tidak paham dengan cara memilih. Padalah faktanya dalam kontestasi politik, rakyat lebih banyak memilih caleg ketimbang memilih partai. Lalu bagaimana kita akan membangun demokrasi jika rakyat tidak dipercaya untuk menentukan pilihannya berdasarkan keyakinannya, bahkan terkesan menyumbat partisipasi politik rakyat dalam menentukan siapa akan menjadi wakilnya.

Proporsional Tertutup akan melemahkan kebebasan ekpresi rakyat dalam menentukan wakilnya, dimana wakil lebih erat kaitannya dengan parpol, sedangkan rakyat hanya dijadikan sebagai objek legitimasi dalam kontestasi politik. Ini sebuah degradasi terhadap kedaulatan rakyat, karena menutup hak rakyat untuk berekspresi bahkan melemahkan kedudukan rakyat dalam kebebasan menentukan pilihannya.

Jangan biarkan institusi apapun menjadi fredatory dumping, yaitu melakukan manipulasi terhadap hak-hak fundamental rakyat dalam partisipasi politik dengan tujuan untuk menyingkirkan kehendak rakyat dalam menentukan pilihan siapa yang menjadi wakilnya di legislative.(*)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *