Politik Kotor Pasca Prabowo-Gibran Berpasangan

Politik Kotor Pasca Prabowo-Gibran Berpasangan

Penulis: Gantyo Koespradono

JAKARTA (Kastanews.com): TERHITUNG sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memberi jalan mulus kepada Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden, situasi politik hari-hari ini dalam penglihatan saya semakin kotor dan tidak sehat.

Meskipun tidak ada jaminan bahwa Gibran yang disandingkan sebagai calon wakil presiden (cawapres) dengan Prabowo Subianto (capres), bakal terpilih pada Pilpres 2024, “lawan politik” sudah membabi buta menyerang pasangan Prabowo-Gibran.

Mereka yang tidak setuju Prabowo-Gibran, saking takutnya, setiap hari menyebarluaskan berbagai produk digital berisi “penghinaan” terhadap keduanya.

Saya menulis artikel ini tidak berarti saya pendukung Prabowo-Gibran, lantas membela atau memilih dua sosok ini pada pilpres nanti.

Tidak! Bahkan jika pun Prabowo-Gibran menempuh cara-cara normal untuk maju ke gelanggang Pilpres 2024, saya juga tidak akan memilihnya.

Oleh sebab itu, berbagai konten dan tayangan yang mendiskreditkan mereka, tak berpengaruh buat saya. Ada atau tidak ada politik kotor, saya tidak akan memilihnya.

Yang lebih memprihatinkan, cara-cara kotor itu dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Setiap hari Jokowi dibully, dihina, dicaci maki, bahkan dapur kehidupan rumah tangga Jokowi diumbar ke publik.

Tersiar kabar, Gibran dicawapreskan atas permintaan (ambisi) sang ibu, Iriana. Bahkan didesas-desuskan ada “konflik” antara Jokowi dan Iriana dalam soal ini. Malah ada pula cerita miring, Iriana “ngambek” dan tidak membukakan kamar buat Jokowi.

Saya anggap semua itu tidak benar. Saya pembela Jokowi? Silakan kalau Anda mau menyimpulkan demikian. Fakta, pada 2014, saya pernah ditugaskan di Media Center Jokowi-Jusuf Kalla.

Jejak digital — berupa tulisan — saya yang mendukung dan membela Jokowi tersebar di mana-mana. Saya tidak mungkin menghapusnya. Saya menyesal telah mendukung Jokowi? Tidak.

Apa yang dilakukannya dalam rangka masa depan sang anak sulungnya, Gibran, adalah haknya sebagai seorang bapak.

Bahwa ada yang menyimpulkan Jokowi berlebihan sehingga melanggar kepatutan dalam melakukan “suksesi” kepemimpinannya sebagai seorang ayah dan presiden, saya setuju.

Namun, jika karena itu, Jokowi sebagai kepala negara kemudian direndahkan secara terstruktur, sistematis dan masif, maaf, saya tidak setuju.

Haruskah keluarga Jokowi diserang secara terbuka dan borok keluarga Jokowi diungkap ke ruang publik? Sampai-sampai disebut Ibu Negara Iriana dikatakan tidak melayat saat ibunda Jokowi, Sudjiatmi, meninggal dunia, saya tidak tega mengatakannya, bahkan dengan ngerumpi ala warung kopi sekali pun.

Terus terang kita prihatin dengan politik kotor yang kian tidak beretika dan berbudaya dengan menyerang pribadi.

Padahal, kalau memang masih mau, bisa saja mereka yang menginginkan Prabowo-Gibran yang didukung Jokowi tidak terpilih pada pilpres nanti, melakukannya dengan cara mengkritik misal kebijakan pemerintahan Jokowi.

Kecewa dan marah boleh saja. Silakan.  Tetapi etika, budaya dan kewarasan harus tetap dijaga, apalagi jika Anda merasa sebagai politisi senior dan berpengalaman.

Perlu diketahui, masyarakat kini sudah cerdas dan kritis. Politisi kawakan dinilai dari kemampuannya menjaga emosi, tidak mengobral amarah kemudian menjadi tidak terkontrol.

Ini sekadar upaya untuk melawan lupa. Sewaktu Partai NasDem mencalonkan Anies Baswedan, para politisi senior ramai-ramai menyerang NasDem dan mendesak NasDem keluar dari koalisi jika tidak nyaman lagi dengan Jokowi.

Jika satu kata dengan perbuatan, beranikah mereka yang kini mencaci maki Jokowi, bahkan menangisinya, memberikan contoh keluar dari pemerintahan Jokowi.

Lha, kalau sudah tidak lagi nyaman bersama Jokowi atau merasa ditinggalkan Jokowi, ya keluar saja dari kabinet.

Memori publik tampaknya masih kuat melekat ketika ada perubahan perlakuan Jokowi terhadap NasDem, petinggi parpol ini tidak pernah menyerang secara pribadi Jokowi, termasuk mengungkit masa lalu keluarganya.

Jika kalian masih merendahkan pribadi dan keluarga Jokowi, maka apa yang kalian lakukan, bukan politik kenegaraan, tetapi sakit hati, balas dendam, kekanak-kanakan dan punya kepentingan pribadi.

Setahu saya, Partai NasDem tetap mendukung Jokowi hingga selesai ia menjabat sebagai presiden hingga Oktober 2024.

Partai politik diberikan kewenangan yang begitu besar oleh konstitusi dan peraturan perundangan untuk mengurus negara, bukan mengurus gosip keluarga.

Jangan mencari pembenaran sakit hati pribadi dihubung-hubungkan seolah itu urusan negara. Masih banyak urusan rakyat yang mesti dibereskan.

Lain soal tentu jika kalian memang punya niat melestarikan politik kotor menghadapi Pilpres 2024.[]
=====

Penulis adalah mantan wartawan, pemerhati sosial politik dan caleg DPR RI Partai NasDem Dapil Jawa Tengah 5 (Kota Solo, Kabupaten Klaten, Boyolali, Sukoharjo).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *