Permainan Dadu

Permainan Dadu

Cerpen

Oleh : Fanny J. Poyk

Duryudana sedang pusing. Nasehat Sengkuni pamannya tidak masuk ke telinganya. Ia sudah yakin rakyat akan berpihak ke Yudhistira, sosok yang tak banyak bicara, jujur dan selalu berpikir positif. Sengkuni menyarankan agar diadakan pemilu ulang untuk melihat hasil yang lebih jelas lagi. Atau adakan permainan dadu yang beda tipis dengan judi. Nanti akan disusun cara mainnya, Sengkuni sudah merancang semua itu.

Si cerdik yang licik ini memang tengah gembira, sebab Sri Krisna sang penasehat Pandawa tak ada di samping mereka, ia tengah mempertahankan kerajaannya Dwaraka dari serangan musuh. “Hm…inilah saatnya Pandawa akan kehilangan segalanya,” katanya sembari menyipitkan mata kirinya. Bahkan Resi Bisma yang biasanya memihak Pandawa, kali ini terjebak juga oleh silat lidah Sengkuni. Ia duduk di kursi kebesarannya dengan wajah masgul.

Perbedaan yang signifikan terjadi melalui hitungan suara, 60 persen untuk Yudhistira dan 40 persen buat Duryudana dalam kompetisi memilih raja yang disukai. Hal ini dinilai tidak sah oleh putera-putera Destrarata, sang Raja Hastinapura yang sebenarnya arif dan bijaksana itu. Raja yang buta itu, lambat laun harus menentukan sikap. Meski Pandu ayah Pandawa Lima adalah saudaranya kandungnya, ia harus memilih ikatan darah langsung, yaitu anak-anaknya. Maka ketika permainan dadu diadakan, ia manggut-manggut saja menyetujui permainan itu, tentunya dengan syarat-syarat yang sudah diracang Sengkuni, yaitu masing-masing peserta memberikan taruhan yang cukup mencengangkan, yaitu adik mereka sendiri dan Drupadi, isteri kelima Pandawa!

Sesungguhnya, dendam Duryudana bukan pada permainan dadu tersebut, ia kesal dalam segala hal selalu harus kalah dengan Pandawa, di balik rasa iri hati dan cemburu, ia merekayasa semuanya dengan dibantu Sengkuni sang paman yang berhati sama ‘bengkok’ dengan dirinya. Ia akan membuat isu bahwa ada kecurangan di dalam pemilihan Raja di Indraprasta, para panitia pemilihan yang terdiri dari wedana serta rakyat yang dipilih, menurutnya telah melakukan kecurangan. Melalui isu yang disebar, rakyat Hastinapura yang berbondong-bondong pindah ke kerajaan Indraprasta itu, digosipkan tidak setulusnya ingin pindah, Duryudana bahkan membawa saksi ahli dari Indraprasta yang notabene adalah prajuritnya sendiri yang menyamar untuk memberikan saksi dusta. Mereka mengatakan, Yudhistira dan adik-adiknya telah membuat propaganda-propaganda bernada menghasut yang menyudutkan Hastinapura. Bagi Duryudana, sesungguhnya Pandawa Lima tak lebih dari sampah yang nista, mereka memperistri satu orang, ini bukan poligami, tetapi poliandri, dan ini tak pantas dilakukan oleh keturunan Kuru yang bermartabat dan sangat dekat dengan kehidupan para dewa. Isu harus dibalas dengan isu, saksi palsu yang lihai bermain drama harus ditambah. Nanti, di persidangan terakhir, aku akan menjatuhkan mereka. Keturunan Pandu tidak ada hak untuk menduduki tahta Hastinapura atau pun Indraprasta. Mereka harus menggelandang di hutan-hutan, menjadi brahmana miskin yang diterkam harimau dan ular kobra. Tidak boleh. Mereka tidak boleh muncul di Hastina Pura! Itu janji Duryudana.

“Benar kata Paman, sebelum diadakan pemilu ulang, kita jebak dulu si lugu dan bodoh Yudhistira dalam permainan dadu. Paman atur semuanya, jangan beri celah untuk mereka mundur dari arena!” Ujar Duryudana.

“Beres keponakanku, mumpung Krisna sedang berperang, kita bebas menjebak Pandawa. Kini mereka tidak memiliki penasehat ahli yang bisa membaca jebakan-jebakanku.” Sengkuni tertawa menyeringai. Wajah liciknya semakin terlihat jelas.
“Tapi paman…jika para dewa membantu mereka bagaimana?” Duryudana terlihat bimbang.
“Mereka kan tahu ini semua hanya rekayasa kita.” Lanjutnya.

Sengkuni memilin-milin jenggotnya. Giginya yang hitam di tengah, terlihat jelas tatkala ia menyeringai. Ia tahu Duryuna benar. Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu dan Syiwa adalah pembela kebenaran. Mereka akan turun tangan bila orang-orang benar dianiaya dengan membabi buta. Hm jika terjadi peperangan, kepada siapa Hastinapura harus berlindung dan meminta pertolongan? Resi Bhisma meski berada di pihak Hastinapura, itu hanya semata-mata kewajibannya sebagai staf ahli yang selalu mengawasi dan menjaga kelanggengan di Hastinapura. Ia juga telah berjanji untuk setia pada Destrarasta, janji itu bukan berarti ia harus membela cucu-cucunya yang jahat-jahat itu. Hatinya tetap berada di kubu Pandawa. Dan semua keberpihakannya itu ia buktikan di pada Kurusetra, menyongsol ajal dengan tubuh ribuan panah yang dilepaskan Pandawa padanya.

Sengkuni pun mulai mencari-cari siapa yang pantas membela Duryuna dan Hastinapura. Tentunya ia harus memiliki kompetensi setingkat dewa. Lalu, ya lalu ia teringat pada Prajapati, ayah Sati, dewi yang merupakan reinkarnasi dari Adhi Sakti, sang pendamping Syiwa. Prajapati membenci Syiwa atau Mahadewa, dengan membenci Sang Mahadewa, secara tidak langsung juga menentang keberadaan Tri Murti. Ya …ya…sang Prajapati bisa dijadikan sahabat. Selain itu ada Supala raja sakti mandraguna yang tidak bisa mati, dan Tarkasur si Raja Iblis yang bisa dipastikan mau menjadi sekutu Duryudana cs.

“Kita panggil Prajapati, dia kan musuhan dengan Syiwa, dia pasti sedang mencari dukungan untuk menyerbu Khailas tempat bersemayam Sang Mahadewa itu. Nah sebelum dia menyerbu ke sana, kita ajak bergabung dulu ke Hastinapura.” Sengkuni berjalan terpincang-pincang mendekati Duryudana. Sang pangeran mahkota Hastinapura, merenung sejenak, mata liciknya berputar-putar, bibirnya mencuat ke atas. Dia berpikir keras untuk mencerna ucapan pamannya.

“Paman, mereka sudah berbeda genre, masa mereka sudah berlalu berabad-abad silam. Masihkah jiwa militan mereka bersemayam di lubuk hati yang terdalam?”

Sengkuni berpikir keras, Duryuna benar, bagaimana jika mereka tidak mau berpihak ke Hastina? Bisa saja dalam hitungan masa, otak mereka telah dicuci untuk membuat sebuah kerajaan baru yang lebih fanatik dan tak kenal kata mati? Hm…lelaki bersorban berambut ikal dengan wajah culas yang berjalan terpincang-pincang itu mondar-mandir seperti orang orang yang hilang akal.

“Paman, Karna masih di pihak kita. Kita juga harus membujuk Ayah agar beliau tidak termakan ucapan Kakek Bhisma. Jika Ayah segera menahbiskan aku menjadi raja, maka bersama Karna, Supala, Prajapati dan Tarkasur kita serang Pandawa. Jangan kita berikan kesempatan mereka untuk duduk menjadi raja di Indraprasta. Jika kerajaan itu tidak berdiri, maka kita bisa mengambil alih rakyat yang sudah berpihak ke padanya. Dengan demikian tidak ada pemilu ulang dan aku yang berhak menjadi raja selamanya…” Duryudana membetulkan letak rompi emasnya. Rambutnya terlihat kusut masai. Ya, di dalam rongga isi kepalanya, ambisi untuk menumpaskan Yudhistira and the gang makin tertanam kuat, sekuat akar pohon beringin yang tumbuh di halaman istana. Bisa juga cara berpikirnya sudah dipengaruhi oleh kondisi rambutnya yang awut-awutan itu.

“Tuanku,” Tiba-tiba Karna Raja dari Kerajaan Angga masuk. Hatinya gundah setelah melihat rakyat yang tak bisa keluar akibat perintah Duryudana untuk menutup pintu gerbang kota Hastinaura. Ia melihat Ibunya Kunti, menatapnya sinis tatkala seorang gadis teman masa kecilnya, Rosali, juga tak bisa ke luar dari pintu gerbang kerajaan. “Saya berhenti menjadi raja di daerah jajahan Tuan. Mahkota yang saya kenakan seperti berkata bahwa saya hanya bisa bertindak jika ada mahkota ini di kepala saya. Saya mohon diri, saya akan kembali ke profesi semula sebagai kusir kereta saja.”

Duryudana terkesiap. Masalah satu belum selesai, sekarang sudah muncul masalah baru lagi. Karna yang sakti mandraguna hendak pergi dari hadapannya. Ini tidak boleh terjadi. Karna perisaiku, jika ia tak ada, siapa yang akan melindungi aku? “Enak saja kau mau berhenti jadi raja, hai anak kusir. Aku sudah memberikanmu posisi tertinggi dalam hidupmu. Tetapi mengapa kau mau mencapakkannya begitu saja?”

Karna menatap Duryudana. “Aku memang anak kusir. Tapi aku punya harga diri. Sesuai dengan janjiku, aku akan tetap berada di pihakmu, tak sedikit pun aku berpaling untuk berpihak ke kubu Pandawa. Tapi kali ini, aku akan kembali ke posisiku yang semula. Mohon maaf.”

Duryuna tertegun.

“Jangan gelisah keponakan. Dalam permainan dadu nanti, aku sudah menyusun rencana. Tak ada yang bisa menasehati Yudhistira, si bodoh yang lugu itu akan menyerahkan semuanya kepadamu. Ya semuanya!”

Dan di senja yang pekat, tatkala Drupadi mengirimkan bunga kembang sepatu dengan lima kelopaknya sebagai isyarat pada Yudgistira bahwa Pandawa Lima harus bersatu, air mata perempuan itu tidak menggugah hati Yudhistira untuk menghentikan permainan dadu. Tatkala Aswatama mencalonkan diri sebagai taruhan membela Astina, seluruh raja dari ke dua belah pihak kerajaan geger, termasuk sang ayah Druna. Pembelaan yang tanpa reserve terhadap Duryudana telah memorakporandakan perasaan Yudhistira dan juga Druna. Keduanya goyah. Di tengah tatapan penuh rasa kesal dan tanda-tanya dari adik-adiknya serta sang isteri, Yudhistira tetap bertahan untuk melanjutkan permainan. Kali ini, setelah permainan dadu yang pertama Pandawa kalah, dan Nakula sudah menjadi abdi Astina, Sadewa kembaran Nakula kemudian dipertaruhkan.

Sengkuni dan Duryudana tertawa terbahak-bahak. Begitu juga seluruh raja yang memihak sang putera mahkota, putera Destarata. Di sisi lain, di benak Dursasana sudah terancang program yang lebih mengerikan dari semula, khususnya tatkala mereka melihat Drupadi berdiri tegak dengan wajah penuh amarah dan kesal. Ketika perempuan cantik itu berbalik sambil mengibaskan selendang panjangnya, di situ pikiran kotor Duryudana berkembang biak. Dan Sengkuni paham apa yang ada di benak keponakannya. Jika itu terlaksana, maka sumpah Drupadi yang meminta kepala putera Destrarata sebagai pembalasan atas penghinaan padanya akan terjadi. Sekarang tinggal menunggu keputusan. Siapa yang keluar sebagai pemenangnya, apakah keturunan Destrarata atau Pandu. Rakyat berada dalam gamangnya pemikiran yang dualisme antara dua pemimpin yang memiliki karakter tak terduga, samar dan buram. Dan Drupadi menunggu vonis penghinaan yang menggambarkan, pelecehan terhadap perempuan di sepanjang masa. Perebutan kekuasaan, intrik, manipulasi serta konspirasi terselebung diramu dalam kemasan tubuh-tubuh dengan beragam wajah, ada yang polos, jujur dan murah hati, ada pula berwajah bengis, penuh tipu muslihat dan psikosomatik. Tinggal rakyat yang kelak menerima hasilnya. Tinggal yang ada dan tiada akan berkata, “Apa kataku, di zaman aku lebih enak, toh?” dan kisah imajiner dalam cerita pendek ini, tampaknya belum berakhir hingga di sini, permainan dadu yang menjadi awal dari perpecahan di antara saudara sedarah itu, akhirnya berbuntut panjang, mengerikan dan penuh dengan darah. *

Depok 2014

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *