Hony Irawan
Menarik untuk melihat perspektif memunculkan rasa malu berbuat buruk dengan memperlakukan pelaku dalam percakapan publik.
Sejak dahulu kita telah memiliki kontrol sosial untuk dapat mengendalikan tindakan berkenaan dengan perilaku anggota masyarakat. Di jaman sebelum marak media sosial bahkan media massa mainstream, pergunjingan yang membicarakan tentang perilaku orang dilakukan sembari mencuci baju bahkan ketika buang air besar di sungai. Atau ketika mencari kutu dan kegiatan bersama lain seperti di warung kopi dan pasar.
Yang dibicarakan juga orang-orang lokal yang dikenal. Efeknya orang enggan melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan norma/etika sosial di daerah tersebut. Bahkan dalam kisah tempo dulu, tak jarang orang ke luar kampung karena malu akibat “cacat” moral dan “cacat” sosial yang dilakukannya.
Dunia kemudian berubah. Media cetak dan elektronik kemudian menjadi saluran “bergunjing” yang lebih luas. “Tokoh-tokoh” yang dibicarakan tentu bukan sekelas kampung, tapi lebih luas dalam lingkup nasional bahkan internasional. Tentu dengan mengusung lebih banyak kepada kepentingan ekonomi dan politik pemilik media. Dengan keterbatasan akses menyampaikan pendapat, hanya “orang-orang kompeten” atau dianggap kompeten atau yang “dikompetenkan” yang leluasa menyampaikan pendapatnya.
Plihan-pilihan informasi masyarakat dibatasi oleh durasi dan halaman. Seleksi atas apa yang perlu ditampilkan dan bagaimana menampilkannya menjadi tugas media massa yang tidak hanya memiliki peran sosial tapi juga ekonomi dan politik karena harus menghidupi diri untuk keberlanjutannya. Media mainstream di masa itu berpengaruh besar dalam pembentukan persepsi publik. Meski pada saat bersamaan mengalami persaingan dalam merebut perhatian khalayak.
Kemudian dengan maraknya media online dan media sosial, dunia semakin dekat. Bukan hanya akses informasi yang lebih luas tapi juga interaktifitas. Orang-orang dipelosok tanah air pun dapat memperoleh informasi nasional dan internasional dengan cepat dan meresponnya dengan leluasa melalui kanal-kanal yang dimiliki.
Yang semula hanya menyoroti kelakuan anak tetangga yang suka keluyuran, jadi lebih “terpanggil” untuk ikut terlibat dalam percakapan-percakapan yang lebih luas. Dari kasus korupsi hingga politik dalam negeri, bahkan aksi gelantungan pengungsi di pesawat di negeri nun jauh di sana.
Tokoh-tokoh publik juga tak tinggal diam. Dengan sumber daya yang dimiliki dapat mengerahkan segala potensi untuk “mempercantik” diri lewat berbagai media. Jadilah hiruk pikuk terkadang tarik menarik yang tak jarang membuat publik awam kebingungan. Mana yang benar!?
Di tengah jaman yang seperti ini, media sebagai perangkat bisa mengantarkan kita pada situasi malu untuk berbuat keburukan atau sebaliknya malah bangga.
Padahal rasa malu adalah perangkat untuk kita dapat menghindari perilaku yang menyimpang dari norma sosial di masyarakat bahkan agama. Ataukah norma kita sudah berubah, tidak apa-apa korupsi toh setelah dipenjara kembali suci? Tidak apa-apa mencabuli, toh setelah dipenjara semua akan kembali jaya seperti semula!?
Sebagai pengingat kita bersama, pentingnya rasa malu sebagaimana dikutip Republika.
“Jika Allah SWT ingin menghancurkan sebuah kaum, dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati membudaya, Allah mencabut dari mereka sikap amanah (kejujuran dan tangung jawab).
Bila sikap amanah telah hilang maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para pengkhianat merajalela Allah mencabut rahmat-Nya. Bila rahmat Allah telah hilang maka yang muncul adalah manusia laknat. Bila manusia laknat merajalela Allah akan mencabut dari mereka tali-tali Islam.” (HR Ibnu Majah)
Sebaliknya, “Rasa malu tidak pernah mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR Bukhari-Muslim).(*)