Jumpa MacArthur di Pulau Zum Zum, Morotai

Jumpa MacArthur di Pulau Zum Zum, Morotai

Oleh : Fanny J. Poyk

Saya bertemu dengan Jenderal MacArthur di Pulau Zum Zum, Morotai. Terik matahari yang seakan membakar kepala, terlupakan. Ada rasa senang menyusup di dada kala melihat posturnya. Dia jendral terkenal di peristiwa Perang Dunia Kedua. Debur ombak dari pantai berpasir putih yang landai di depan ia berdiri, telah menjadi saksi bisu yang mengiringi pertemuan kami. Suara alunannya yang lembut menjadi semacam lagu indah dengan irama jazz klasik yang disuarakan penyanyi berkharisma Nat King Cole. Opa Arthur, demikian saya menyapanya, menatap saya tajam dengan sorot mata yang mengandung puluhan makna.

Saya berjalan mendekatinya, berdiri di bawah kakinya, menyentuhnya perlahan lalu melempar pandangan ke sekeliling tempat ia berdiri. Untuk beberapa saat kami terdiam. Ketika deru suara angin meniup dedaunan pohon-pohon bakau yang tumbuh subur di sekitarnya, lamat-lamat saya seolah mendengar ia menyapa. Saya menyentuh kakinya lagi. Lalu saya mendengar suara dari bibirnya yang tipis tanpa senyum, “Hei Nak, apa kabarmu? Terima kasih kau sudah datang ke Pulau ini. Kau pasti dari Jakarta, kan?” tanyanya datar tanpa senyum. Ajaib, ia tahu saya dari Jakarta.

Saya ingin akrab dengannya, kemudian saya menjawab sapaannya, “Betul Opa. Sudah lama saya ingin ke sini, ke Pulau Zum Zum, bertemu Opa dan mendengar kisah tentang perjuangan Opa yang heroik.”

“Ah, itu kisah lama yang sesungguhnya banyak mengandung derita dan air mata. Aku suka kau suka sejarah. Banyak orang sudah melupakan sejarah. Semakin majunya teknologi, sejarah hanya akan menjadi masa lalu yang dimaknai sebagai cerita datar menjelang tidur. Hanya orang-orang tertentu saja yang masih berempati pada sejarah,” kata Opa Athur.

“Saya masih menyukai sejarah dan menghargainya, khususnya tentang kedatangan Opa ke pulau ini dan saya pendengar yang baik, saya ke sini ingin mendengar cerita Opa.”
Hening…

Beberapa teman yang ikut bersama saya, lebih bergairah untuk melakukan penyelaman ‘snorkling’ yang dipandu oleh penyelam setempat, kapal boat yang bersandar di ujung dermaga, berayun-ayun mengikuti arah ombak. Nakhoda kapal yang kemudian saya kenal bernama Jupri, mulai mengeluarkan alat pancingnya, ia bersama Ahmad sang anak buah, melemparkan mata kail ke laut sembari menunggu saya dan teman-teman selesai melihat-lihat keadaan Pulau Zum Zum, tempat Opa Arthur menetap.

“Baiklah, aku akan bercerita sedikit tentang masa ketika aku tiba di sini, tentang serangan yang memakan ratusan bahkan mungkin ribuan nyawa manusia dari sebuah perisiwa yang berasal dari ego manusia,” ujarnya dibarengi dengan tiupan angin siang yang masih cukup kencang. “Kala kami mendarat, kami menerima serangan dari tentara Jepang, serangan itu diawali dengan tembakan meriam ke arah udara dan darat selama dua jam, serangan bertubi-tubi ke arah kami. Banyak yang tewas, tapi kami berhasil mendarat di Red Beach, Morotai. Pagi harinya Resimen Infanteri ke 124 dari kubu kami, berhasil menguasai pantai. Pasukan Jepang mundur ke bukit, kekuatan pasukanku 100 kali lebih kuat dibanding mereka. Desa Totodoku, Baru, Gotalamo dan Jubod serta kampung-kampung di sepanjang sungai Sabatai, Morotai segera kami kuasai. Lalu, aku bersama anak buahku mendirikan markas kami di Pulau ini.”

Saya mencoba menyimak.
Lelaki gagah lulusan akademi militer West Point Amerika Serikat ini, masih memandang ke arah laut. Tatapannya dingin tanpa ekpresi. Ia irit senyum. Suasana sunyi, sesekali ada suara cericit burung yang terbang di antara pepohonan lebat yang bergerombol di dekat tempat ia berdiri. Saya membayangkan kehidupan kesehariannya, pastinya laut dan hutan bakau di sekitarnya menjadi teman yang sangat ia percayai. Atau bisa saja ia bercakap-cakap dengan iringan musik yang diiringi oleh debur ombak di tepian pulau nan sunyi ini. Meski demikian, saya masih belum mau beranjak dari hadapannya. Panas matahari semakin menyengat, sesekali rasa gatal akibat nyamuk tak terlihat yang bernama agas terasa di lengan, saya bertahan untuk tidak menggaruknya, sebab kulit saya yang sensitif terhadap gigitannya dapat membuat lepuhan merah di sekelilingnya. Saya melihat sang jendral seakan memicingkan mata. Mungkin ia lelah terlalu lama berdiri di sana. Rumput alang-alang dan perdu yang berduri mulai merambat. Keramaian hanya tercipta dari debur ombak memecah di bibir pantai, suaranya lembut tidak menggelegar.

Ada beberapa kapal boat dan kapal pesiar hilir mudik melintasi laut yang berombak tenang itu. Perahu ketingting nelayan terlihat beberapa, para nelayan tinggal dan hidup di laut, ketika tangkapan ikan dirasa sudah cukup, mereka merapat ke dermaga Daruba, membawa ikan-ikan untuk di jual di restoran-restoran yang berjejer di tepian pantai Taman Kota Daloha. Laut telah menyediakan ikan-ikan gurih dan lezat yang mereka tangkap. Seorang nelayan menuturkan ia turun ke darat seminggu sekali, membawa ikan-ikan tangkapannya dan menyetorkan hasilnya pada sang isteri untuk makan dia dan anak-anaknya, sebagian uang penjualan ikan-ikan hasil tangkapan, dikirim ke Pulau Jawa untuk pendidikan anak mereka lainnya yang kuliah di sana. Ikan-ikan itu rupanya telah menggantarkan banyak pemuda dan pemudi Morotai menjadi sarjana. Mereka pulang ke kampung asal dan melanjutkan estafet dunia pendidikan dengan menjadi dosen, guru yang sekaligus sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara).

Suara burung elang laut dan Pulau Zum Zum yang sepi tak menggoyahkan tanah yang dipijak Opa Arthur untuk pergi meninggalkan tempat itu. Ia tetap berdiri gagah memandang laut.
“Kau bisa masuk lebih ke dalam pulau ini, di tengah hutan kecil yang ada di pulau, kau akan melihat tanah datar yang dulunya pernah berdiri sebuah villa mungil. Sayang villa itu itu sudah dimusnahkan Belanda. Di sanalah aku pernah menyusun rencana untuk menghancurkan tentara Jepang yang berniat menguasai dunia bersama anak buahku. Rencana itu kuberi nama lompatan katak.” Ujarnya datar.

Kemudian bersama semilir angin laut yang menerpa tengkuk, tanpa saya minta, kisah tentang serangannya pada tentara Jepang meluncur lagi dari bibirnya, “Pada 15 dan 26 Agustus 1945, sekitar 660 tentara Jepang yang berada di Pulau Morotai menyerah pada pasukan yang kupimpin. Kemudian, pasukanku dari Divisi ke-93, menerima penyerahan dari 40.000 tentara Jepang di Halmahera. Kala itu komandan Jepang di sana dibawa ke Morotai dengan Kapal Angkatan Laut Amerika Serikat. Pada 19 September 1945, Perwakilan Tentara Sekutu di Pasifik Barat Daya, yaitu Jenderal Thomas Blamey menerima penyerahan dari Angkatan Darat Kedua Jepang, peristiwa ini disertai upacara militer di tanah olah raga milik Korps I Morotai. Setelah peristiwa tersebut Morotai ditetapkan sebagai basis terpenting tempat aku dan anak buahku menyusun strategi mempertahankan Filipina dari serangan Jepang.” Tuturnya.

Tiupan angin membuat rambut keriting saya semakin bertambah kribo. Laut masih berkecipak lembut. Dermaga yang ujungnya terlihat bisu, menunggu kapal-kapal boat lain untuk disandari. Kayu-kayu hitam yang menjadi penyangga dermaga, masih kokoh berdiri, dia tidak keropos meski tertanam di dalam laut Morotai puluhan tahun lamanya. Selebihnya, tenangnya laut seakan mengandung banyak cerita. Seperti yang dikatakan Muhlis Eso, pemandu wisata kami yang berasal dari pulau ini. Menurutnya Morotai dan lautnya, serta pulau-pulau kecil di sekitarnya bisa diibaratkan sebuah dapur magma yang dipenuhi oleh kerangka beragam senjata, tank, berbagai jenis bom, pesawat-pesawat tempur dan kapal-kapal perang yang dahulu pernah menebarkan kuasanya ke masing-masing sasaran tempur yang dituju.

“Seandainya ada pendana yang mau mengorek laut Morotai, dia pasti akan menemukan beragam peninggalan dari peristiwa Perang Dunia Kedua yang spektakuler itu,” katanya. Muhlis Eso juga memiliki museum PD II yang diisi dengan hasil penggaliannya ketika jeda melakukan tugas sebagai pemandu wisata.

Opa Arthur masih berdiri tegak. Tak lama ia kembali bersuara, “Sudah, kau jangan banyak berpikir keras tentang kisahku. Dengarkan saja apa yang kututurkan,” katanya dengan nada tegas. “Pertempuran udara di Morotai berlangsung sejak 15 September 1944 hingga 1 Februari 1945, dalam rentang waktu saling menyerang tersebut telah terjadi 54 kali serangan oleh Divisi Udara Jepang. Dari seluruh penyerangan, 42 pesawat sekutu hancur, 33 pesawat rusak, 19 tewas dan 99 tentara terluka. Ya, Jepang pernah berjaya atas kami, serangannya yang mengejutkan juga terjadi pada 22 November 1944, di mana 15 pesawat Sekutu hancur dan 8 rusak. Pesawat yang digunakan Jepang dalam pertempuran ini diambil dari Pulau Seram dan Sulawesi, pangkalan kapal mereka ada di Halmahera. Dan serangan Jepang berhenti pada akhir Januari 1945.”

Saya menyimak ceritanya dengan penuh perhatian. Kemudian saya merenungi sesaat tentang siapa sesungguhnya laki-laki yang berdiri di depan saya ini. Opa Mac adalah seorang jenderal Angkatan Darat yang menjabat komandan pasukan Amerika Serikat di Filipina pada tahun 1942-1945, ia juga sebagai komandan Pasukan Sekutu di Wilayah Pacific Barat Daya. Sosok tinggi dan tampan ini terkenal dengan kalimat ‘I shall return’nya yang pernah menjadi viral tatkala ia merebut Pulau Morotai dari tangan Tentara Jepang.

“Mengapa Pulau Morotai yang kau jadikan basis untuk menyerang Jepang?” tanya saya.
“Kau tahu,” katanya, “Morotai tempat yang strategis untuk melakukan penyerangan. Pulau ini dekat ke mana-mana.

Pada saat Jepang membom Pearl Harbour, aku masih berada di Filipina, kemudian pimpinan memerintahkanku untuk kembali ke Australia guna mengatur strategi. Kala itu, kupikir cara untuk menundukkan Jepang ya dari Morotai ini. Kemudian di Morotai, aku membangun bandar udara yang sekarang bernama Pitoe untuk menjadi landasan penerbangan dan serangan ke Jepang.
Sekarang, andai bandar udara Pitoe menjadi bandar udara internasional, dia akan berada di titik strategis sebagai pusat penerbangan dunia. Morotai bisa dikatakan sebagai pulau yang memiliki jalur terdekat untuk pergi ke segala penjuru dunia. Dan itulah sebabnya mengapa Morotai kupilih menjadi titik yang strategis sebagai pangkalan yang tepat untuk menyerang Jepang pada PD II.” Paparnya. “Di dalam perang, kemenanganlah yang menjadi tujuan utama. Kematian dan penderitaan akibat peperangan, itu tak sempat kami pikirkan.” Tambahnya.

Saya merenungi ucapannya.

“Nak, perjuangan untuk mempertahankan sebuah negara ada di kisah yang kuceritakan padamu ini. Dulu aku beranggapan, Jepang adalah bangsa yang harus kami basmi. Tetapi sekarang aku berpikir bahwa untuk membebaskan dunia dari kekuasaan absolut atas beragam kepentingan, tidak harus dilakukan dengan peperangan. Ada diplomasi santun yang bisa dipakai. Jika ekstrim kiri maupun kanan mulai menjejakkan cangkangnya, maka yang terjadi adalah revolusi yang berdarah-darah dan ini berbahaya sebab bila terjadi revolusi kemudian massa turun ke jalan untuk memberontak, maka akan hancurlah semua tatanan yang dengan susah payah sudah dibangun. Menurutku Morotai telah merekam jejak dari semua peristiwa keserakahan yang dibuat oleh manusia atas nama negara. Aku pernah terlibat di dalamnya.” Lanjut Om Mac.

“Menyesalkah Opa?” tanya saya.
“Ketika perang terjadi tidak ada kata menyesal. Patuh pada perintah dan menjadikan dunia aman, itu yang terpenting.” Jawabnya.
“Apakah menurutmu dunia kemudian menjadi aman?”
Opa Mac membisu sejenak. “Dahulu aku berharap demikian. Namun semakin dunia berjalan ke arah perkembangan yang millenial seperti sekarang, situasi berubah. Banyaknya jumlah manusia di dunia ini menjadikan mereka berlomba untuk saling sikut dan saling menguasai bahkan saling membinasakan. Hati nurani telah mati.”
“Maksud Opa?”
“Aku tidak mau panjang lebar bicara soal ini, kau kan sudah dewasa dan sudah mengerti apa yang terjadi di dunia dan juga di negaramu. Tentunya kau banyak membaca berita-berita yang bertebaran di media massa, media online juga televisi. Kau bisa mencernanya dengan baik. Dari sana kau akan tahu siapa yang berhati tulus, jujur, juga siapa yang ganas beringas, serakah, mau menyetir dengan ego yang membumbung untuk menguasai harta yang berlimpah yang ada di negaramu. Semoga saja tidak terjadi perang dunia ketiga.” Ujarnya tanpa tekanan.
Kisahnya lagi, “I shall return, begitu selalu kataku. Dan itu kubuktikan sehari setelah Jepang memborbardir Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii, pada tanggal 8 Desember 1941. Pada waktu itu Filipina masih termasuk negara Persemakmuran Amerika Serikat dan aku bertugas sebagai penasehat Angkatan Darat Filipina. Invasi Jepang ke Filipina sangat brutal. Aku dan para anak-buahku terpaksa bertahan di Semenanjung Bataan. Kemudian dari Australia aku mengatur serangan balik ke Jepang. Begitulah, ketika aku kembali ke Morotai, serangan membasmi Jepang kulakukan dan Negeri Matahari Terbit itu kalah. ”

“Apakah kau bahagia dengan semua yang telah kau lakukan Opa Mac?” tanyaku ketika nakhoda kapal boat yang kami sewa mengingatkan kalau waktu untuk memakai kapal itu hampir selesai.
“Sekarang aku berpikir, peperangan atau revolusi hanya akan merugikan dan menghancurkan manusia antar manusia. Tapi begitulah yang pernah tercipta, tidak pada manusia, di dunia binatang pun demikian. Penguasaan atas tanah, laut dan segala isinya sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Dan kemasannya bisa dengan berbagai cara, bisa melalui politik, agama, atau racikan keduanya. Manusia akan memangsa manusia lainnya, ganas tanpa belas kasihan.” Ucapnya dengan suara serak.

Saya berdiri gamang. Di layar ponsel berita tentang bentrokan di Jakarta masih memanas. Ketika saya naik ke dalam kapal boat yang bersandar di dermaga Pulau Zum Zum, saya melambaikan tangan pada Opa Mac, saya merasa ia membalas lambaian tangan saya. Patungnya yang berwarna abu-abu kehitaman seolah berkata, “Hati-hati di jalan, semoga negerimu aman dan tenteram selalu…”

Tamat

***

Biodata Fanny J. Poyk
Nama lengkap Fanny Jonathans Poyk, Lulusan IISIP Jakarta. Menulis sejak tahun 1980an, mulai dari cerita anak-anak, remaja, hingga dewasa. Fanny juga menulis novel, puisi, buku-buku motivasi, buku biografi dan laporan perjalanan. Cerpen-cerpen, noveletnya pernah dimuat di suratkabar Kompas, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Tribun Jabar, Bangka Pos, Surabaya Pos, Bali Post, Singgalang, Timor Ekspres dll. Salah satu cerpennya pernah masuk dalam 20 cerpen terbaik versi Kompas.
Alamat Pos-el: poykfanny10@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *