Jejak yang Tertinggal

Jejak yang Tertinggal

Oleh Fanny J. Poyk

Ketika Ronnie datang ke apartemenku, langit tak lagi cerah. Udara sejak pagi sangat tak ramah, gelayut awan hitam hampir memenuhi tiap sudut cakrawala. Hujan turun tak lama kemudian, seperti biasa suara petir yang kuat kerap menemani hujan. Aku tidak bertemu Ronnie, hanya secarik kertas yang terletak di meja makanku. Pada kertas itu tulisannya terlihat jelas. Tadi aku datang, aku mencoba puding coklat yang kau buat. Enak sekali. Mungkin beberapa hari ini aku tidak datang, aku sibuk sekali, ada puluhan pasien yang menunggu untuk dirawat. Tapi aku berjanji akan kembali ke apartemen. Maaf.

Singkat, padat dan jelas. Namun kalimat ‘puluhan pasien yang menunggu untuk dirawat’ menggiringku pada rasa cemas yang terselubung. Entah, pikiranku mulai berpadu pada gulitanya malam yang turun perlahan.

Dari balik jendela, kesan muram terlihat lebih mendominasi. Situasi yang ada menggiringku pada ingatan terdahulu tentang lelaki berpredikat duda dengan dua anak itu. Aku mengenalnya sudah dua tahun. Perkenalan yang terjadi tanpa rencana juga tanpa kisah dramatis yang biasanya terdapat di film-film atau novel pop picisan. Aku menderita diabates dan Ronnie dokter penyakit dalam yang kemudian menjadi dokter langgananku.

“Kadar gula Ibu selalu tinggi, tidak pernah di bawah 200, mau kuberi suntikan insulin? Jika Ibu terus minum obat penurun gula, maka lambungnya akan terkena dan itu bahaya, Ibu akan kena sakit lambung, maag Ibu menjadi kronis. Saya bukan menakuti-nakuti. Ibu menderita diabetes sudah sepuluh tahun lebih. Untung hasil pemeriksaan laboratorium, ginjal Ibu masih aman. Bagaimana, mau saya berikan suntikan insulin? Nanti suster akan memberi contoh cara menyuntiknya.” Kata Ronnie tanpa ekspresi.

Aku membayangkan ketika jarum suntik setiap waktu menembus kulitku sesuai jadwal yang akan diberikannya, ke mana-mana aku pergi, jarum suntik itu harus kubawa. Betapa kasihannya tubuhku karena selalu ditusuk dengan jarum yang sangat runcing. Tiba-tiba penolakan ke luar dari bibirku.

“Tidak. Biar saya menelan metformin dan glucodiance seperti yang selalu dokter berikan saja. Saya akan diet lebih ketat lagi.”

Ronnie memicingkan mata, melirikku sejenak. Lalu dia menangguk-anggukkan kepalanya.

“Baiklah, besok Ibu saya rujuk ke dokter gizi. Nanti jika resep sudah diberikan, ikuti anjuran dokter gizi itu, saya rasa dengan disiplin yang dianjurkan, gula darah Ibu akan kembali normal.”

Ibu? Tanya itu menggelayuti pikiranku ketika aku ke luar dari ruangannya. Aku berjalan menuju toilet, berkaca dan bertanya pada diri sendiri, “Di usia yang ketiga puluh tahun, apakah benar aku sudah lebih mirip ke penampilan seorang ibu?”

Kuperhatikan kerut di ke dua sudut mata. Akhirnya harus kuakui memang layak dokter itu menyebutku ‘ibu’.  Seorang perempuan lajang yang tidak pernah tahu siapa ibu dan ayah kandungnya. Sekeluarku dari rumah yatim piatu pada usia lima belas tahun, aku harus berjuang menghidupi diri sendiri. Bekerja sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah di sebuah komplek perumahan kelas menengah, menjaga warung sembako sekaligus menetap di sana sebagai pembantu rumahtangga yang beruntung sang majikan mau menyekolahkanku hingga lulus SMA dan kemudian berkat otak yang tak bodoh aku lolos tes ujian masuk universitas negeri dengan pilihan fakultas yang tidak main-main; Matematika dan Ilmu Pasti Alam.

Kemudian seluruhnya bagai jalan keberuntungan yang diberikan Tuhan tanpa kendali padaku. Aku lulus dengan nilai terbaik dari seluruh mahasiswa, lalu aku memperoleh beasiswa untuk mengambil S2 di Universitas Ilinois, Amerika Serikat dengan jurusan yang sama dan lulus dengan nilai sangat memuaskan, selanjutnya ditarik menjadi dosen tetap, dan memperoleh status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Waktu telah begitu kuat menggiring langkahku ke jalan terbaik untuk kulalui. Aku beruntung diwariskan otak yang di atas rata-rata oleh kedua orangtuaku, namun diabetes keparat juga mengikutiku dengan setia kemana arah langkah dan nafas kehidupanku. Dan di situlah suratan takdir tertulis, pertemuan demi pertemuan dari kelanjutan tentang perkembangan penyakit itu terjadi, Ronnie membawaku masuk ke dalam kehidupannya.

“Aku duda, anakku sudah dua, laki-laki dan perempuan. Ibu mereka telah tiada akibat kanker payudara ganas yang membawa nyawanya pergi dari tubuhnya dua tahun yang lalu. Jika kau mau menerimaku sebagai suamimu, aku akan senang sekali. Itulah kenyataan hidupku yang harus kau ketahui.” Katanya setelah ia tahu aku seorang gadis dan masih sendiri di pertemuan kami entah yang ke berapa.

Jika kukatakan apakah aku telah jatuh cinta padanya? Maka jawabku tidak. Secara logika dan biologis, aku menyadari usiaku merambat tua, aku ingin punya anak sebelum rahimku menciut dan tak bisa lagi membuat perutku menggelembung berisi janin bayi. Karirku sudah mapan, sesuai dengan pengabdianku selama lima tahun sebagai dosen. Aku hidup sendiri, beberapa dari penghasilanku kuberikan pada majikanku yang dulu pernah menanggung sekolahku, tapi seringnya dia menolak pemberianku tersebut. Entah itu karena dia hidup berkecukupan atau ada strata sosial yang tetap dijaganya bahwa aku pernah menjadi pembantunya dan dia majikanku, atau kasarnya aku adalah budaknya yang sudah dia bebaskan dari belenggu perbudakan.

Menurutku, beda status sosial antara si kaya dan si miskin atau pengakuan si miskin pada si kaya selalu tak pernah hilang meski telah terjadi perputaran roda kehidupan, misalnya si miskin telah menjadi lebih sukses dan kaya dari si kaya.

Dan tatkala sang dokter ahli penyakit dalam yang akrab kupanggil Ronnie itu melamarku, aku menerimanya dengan perhitungan dan logika yang matang. Beberapa pertimbangan yang lebih menjurus ke ruang psikologisku adalah, aku enggan hidup sendiri, di tiga puluh tahun umurku, semua kepahitan hidup telah kujalani. Kemudian, kami menikah dan disaksikan oleh dua anaknya, ibu dan ayahnya juga majikanku yang kujadikan sebagai saksi pernikahanku dan sepuluh orang undangan yang merupakan teman dekatku dan Ronnie.

Dan anehnya hingga dua tahun pernikahan kami, aku masih tetap tinggal di apartemenku, Ronnie tinggal bersama ibu, ayah dan anak-anaknya. Dia datang seminggu dua atau tiga kali. Kadang malah seminggu sekali. Alasannya sederhana, dia sedang mengumpulkan dana untuk membangun dua rumah yang luas agar aku, anak-anak, ibu dan ayahnya bisa tinggal berdekatan.

“Aku tidak mau berpisah dengan orangtuaku, juga dengan anak-anak demi hidup denganmu. Tapi aku juga tidak mau kau terbebani bila tinggal bersama kami. Kau kan selalu hidup mandiri, jadi kita harus memiliki dua rumah yang saling berdekatan agar kita bisa saling memperhatikan.” Katanya.

Alasan itu bisa kuterima. Namun sesungguhnya aku adalah sosok yang paling malas berdebat untuk hal-hal yang kuanggap sepele. Hidup ini sudah terlalu rumit dan keras buatku. Jadi aku santai saja, meski agak ganjil buat orang lain.

Pesan Ronnie kubaca sekali lagi. Di luar sana keadaan terlihat semakin tidak stabil. Covid-19 telah membuat seluruh umat manusia hidup dalam ketakutan. Analisa tentang dari mana virus ini berasal, membuat manusia berada dalam kebingungan yang fatal.

Berawal dari Wuhan, China, lalu ke Italy, ke negara-negara Eropa, hingga Amerika. Tak terhitung juga negara-negara kecil yang tergabung dalam ASEAN, termasuk negeriku Indonesia. Ditambah dengan tuntutan agar pemerintah melakukan lockdown, kemudian berlanjut pada situasi ekonomi yang ada dan imbasnya pada dunia usaha yang muncul pada pemutusan hubungan kerja secara sporadis, orang yang sudah susah semakin susah, pengangguran baru yang gelisah dengan masa depan mereka, semuanya berpadu dalam satu ramuan yang ujung-ujungnya kian menambah rasa gelisah. Semua itu berpadu dengan ketakutan akan datangnya kematian yang tak pernah diinginkan. Peran media sosial yang gencar dan menakutkan, menambah kegelisahan yang ada kian memuncak.

Seminggu sudah Ronnie tidak berkabar. Berita tentang pemakaman, kubur yang sunyi hanya dihadiri oleh juru makam dengan seragam mereka yang tertutup rapat, membuat mataku nyalang menunggu sekaligus berharap Ronnie tidak di sana, dia pasti kembali.

Tapi rasa gundah itu merasuk hingga di luar batas nalarku. Opini pribadi berkelindan membaur ke dalam analisis pribadi yang terkadang melanggar dari batas kemanusiaanku. Ditambah dengan tulisan yang dibuat penulis India Arundhati Roy dengan judul Pandemi adalah Sebuah Pintu Gerbang, ini semakin menguatkanku bahwa virus yang ganas ini datang dengan kemasan yang mencurigakan.

Beragam kepentingan mulai menungganginya. Manusia-manusia tamak mulai mengeluarkan taring mereka. Sementara Ronnie berjuang dengan tulus sesuai sumpahnya sebagai dokter, yang durjana memanfaatkan virus ini tanpa belas kasihan.

Aku juga ngeri membayangkan keberlanjutan dari perkembangan virus ini ke depannya. Apakah dia akan tuntas di dua minggu masa penyerangannya pada antibody manusia? Atau akan bermutasi menjadi virus baru dengan daya serang yang lebih ganas? Sementara kematian akibat virus covid-19 di Indonesia yang mencapai 200 orang namun diduga itu belum tentu pasti dan ditambah lagi dengan kurangnya persediaan masker serta APD (Alat Pelindung Diri) yang mirip astronot untuk para dokter, semua itu membuat debar di jantungku kian menguat.

Ronnie berada di dalam belantara itu. Covid-19 telah menggiringnya untuk menjadi lawan yang berperang dengan musuh tanpa bayangan bahkan tanpa jejak.

Aku semakin cemas. Kesendirian menjadi bayang-bayang yang terulang kembali tanpa kuminta. Bukan hanya itu, apabila virus kejam predator tanpa belas kasihan itu benar-benar mengambilnya dari aku, anak-anaknya, juga ibu dan ayahnya, maka lengkaplah kami menjadi mahluk kesepian yang tak akan pernah melihatnya kembali ke rumah.

Perkiraan yang semoga tidak menjadi nyata, membuatku berimaji andai Ronnie kembali, dia akan menjadi ‘carrier’ yang kemudian membawa virus itu dan menularkan pada kami semua. Kami akan habis dilibas tanpa jejak yang patut diingat, ah khayalan yang mengerikan. Membicarakannya pun orang enggan. Terlebih dari itu, pemakaman yang dilakukan akan terjadi secara senyap, sunyi tanpa suara dan tak patut untuk dikisahkan. Semua tentang kami tak pantas untuk diingat. Itu pemikiran fatalistis yang ada di benakku.

Kabar dari Ronnie tetap buram. Dokter penyakit dalam yang juga suamiku, seolah lenyap tertelan bumi.

Dan ketika di malam sunyi, kala rembulan bersinar malu-malu, aku mendengar ia mengetuk pintu apartemenku. Rasa gembira yang meluap meronai wajahku. Dia datang dengan baju putih katun dan celana jins kesayangannya. Memanggil namaku perlahan, “Liana…Liana…apakah kau masih menungguku? Puding coklat buatanmu enak sekali. Nanti buat lagi, ya.”

Aku tersentak. Mimpi itu bagai menyadarkan aku dari tidur yang tak lelap selama beberapa hari ini. Sisa puding coklat yang kubuat masih ada di lemari es. Potongan yang pernah dimakannya seolah meninggalkan cerita kalau di situ ada bekas jemarinya. Segera kukeluarkan puding itu dari sana, kusemprot dengan sanityser, lalu kubuang ke tempat sampah. Kataku dalam hati, “Maafkan aku Ronnie, aku mencintaimu tapi aku belum mau mati sia-sia, masih ada anak-anak dan kedua orangtuamu yang harus kuperhatikan. Mereka adalah keluargaku kini.”

Beberapa hari kemudian, lima dokter dan dua perawat di rumah sakit itu diumumkan telah meninggal dunia akibat serangan virus covid-19. Mereka mati sebagai pahlawan, pergi tanpa pesan juga tanpa jejak, penuh rahasia dan senyap, mungkin mereka dimakamkan tanpa doa juga banjir air mata. Jejak mereka sebagai manusia hanya tinggal kenangan. Dan yang paling menyayat, Ronnie ada di antara mereka. Kesendirian yang paling tak kuharapkan kembali menyelimuti hatiku yang luka. Ronnie…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *