KASTANEWS.COM: Pena Adiadipura yang saya kenal orangnya antik. Suka dengan berbagai perabot tradisional yang umurnya mungkin lebih tua dari usianya. Entah ada berapa banyak koleksi perabotan semacam itu yang ia miliki. Yang jelas di salah satu dari sekian rumahnya, ada yang setiap kamarnya punya tema sendiri. Yang berisi perabotan antik dari berbagai daerah di Indonesia.
Namun yang membuatnya menarik tentu bukan berapa rumah dan properti yang dimiliki. Bukan pula bagaimana hobinya nongkrong di tempat ngopi yang cozy, dengan pelayan yang begitu familiar dengannya. Entah, saya gak tahu pasti, karena sering datang, atau pemiliknya minta bantuannya sebagai konsultan atau karena memang itu miliknya sendiri. Saya sempat betanya-tanya tapi enggan untuk bertanya betulan.
Yang membuatnya menarik adalah ide-ide besarnya. Kadang ide itu sangking besarnya, yang mendengar harus pandai-pandai menangkapnya. Seperti letupan-letupan yang saya pikir mungkin yang bersangkutan perlu bantuan “lawan tanding” yang sepadan untuk turut merumuskan.
Lihat saja pilihan judul tesisnya yang sebetulnya rada berat dibanding dengan tesis buat yang mau cepet-cepet sidang. Gak heran saya yang belakangan kuliah, menyusulnya lulus duluan.
Namanya sudah sangat terkenal di dunia periklanan. Sebagai seorang copywriter di berbagai biro iklan ternama sejak tahun 90an. Karya-karyanya menghiasi ruang kaca, media luar ruang, radio, media cetak bahkan pada kegiatan aktivasi yang melibatkan banyak orang.
Karyanya yang monumental di era orde baru adalah kiprahnya dalam kampanye keluarga berencana. Salah satu produk yang pada waktu itu masih sangat “sensitif” sebagai alat kontrasepsi, dikemas sedemikian rupa hingga dapat diterima masyarakat.
“Waktu itu gue pikir orang yang mau beli kondom di warung atau toserba masih malu. Jadi gue coba bikin semacam ‘kode’ dengan menunjukkan jari 2 dan 5. Kode bisa jadi alat komunikasi kepada penjaga toko, jadi seorang pembeli bisa mendapatkannya tanpa harus malu menyebutkannya. Jadilah merek kondom 25 pada waktu itu!” Katanya suatu ketika, menceritakan pengalamannya.
Beberapa produk besar yang sempat ia tangani di dunia periklanan gak tanggung-tanggung dari perusahaan rokok, elektronik, otomotif, sampai perusahaan-perusahaan kenamaan lainnya. Biasanya yang saya tau, pengiklan yang punya “billing commitment” gede gak akan sembarangan pilih copywriter. Pasti itu udah hasil seleksi dimana karyanya sanggup mendongkrak penjualan secara fantastis. Gak heran kalau Mas Pena, begitu saya memanggilnya, dibayar mahal untuk pekerjaannya.
Kalau cerita asal-usul berkenalan dengannya. Entah bagaimana ceritanya Mas Pena sempat singgah membantu direktur Bens Radio pada waktu itu Biem Triani Benyamin. Saya tidak tahu persis apakah ada kaitannya dengan perusahaan periklanan atau untuk mendongkrak konsep program dan off air jaringan radio Etnikom. Yang jelas saya yang waktu itu sebagai kepala bagian siaran Bens Radio sempat berinteraksi dan berdiskusi berbagai gagasan konsep iklan beberapa produk.
Menarik sekali ungkapan-ungkapan yang disampaikan pada saat itu. Beberapa sempat membekas hingga kini. Diantaranya paparannya tentang “kreatifitas adalah mata uang baru dan berlaku dimana-mana”.
Tak lama berselang Mas Pena yang hanya sewaktu-waktu muncul itu malah tak muncul-muncul lagi. Saya pun kemudian cari petualangan baru dengan bekerja di biro iklan dan production house.
Entah bagaimana ceritanya dalam suatu kesempatan kami bertemu lagi. Mas Pena menceritakan tentang gagasannya menawarkan konsep “Jakarta Green Clean” kepada Yayasan Unilever. Kemudian kami bersama-sama mengemas dan menyelenggarakan lomba kebersihan dan penghijauan tingkat RT se-Jakarta yang pertama yang dibiayai Unilever. Dilanjutkan saya diajak pula untuk menjadi pendampingnya dalam berbagai FGD dengan Kementerian Lingkungan Hidup membahas tentang strategi komunikasi dan kreatif pengemasan pesan untuk isu lingkungan hidup.
Selama bekerjasama dengan Mas Pena, nampaknya yang lebih mengemuka adalah jiwa kerelawanan. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan seni, nasionalisme serta cafesiana nampaknya menjadi pasionnya.
Kadang letupan-letupannya tak terduga seringkali membuat banyak orang membuka mata. Lewat videographic Pancasila Manual Bangsa https://youtu.be/eSaYZ7o0wkU Mas Pena kembali menunjukkan kepiawaiannya. Bukan hanya dalam mengemas pesan namun juga menangkap permasalahan esensi yang harus dijawab dalam Social Marketing. Dalam hal ini persoalan ideologis terkini anak muda, untuk kemudian didekatinya dengan cara kekinian.
Perhatian publik dunia maya atas karya itu membawanya menjadi Nara sumber diberbagai tempat. Bahkan saya sempat mendampinginya dalam beberapa pertemuan dengan anggota MPR RI untuk menjadikan video graphic tersebut sebagai materi sosialisasi 4 pilar bangsa.
Lalu seperti serial, beberapa videographic dan lagu serta video klip senada diluncurkan lewat tag line KomuniAksi. Tengok saja karya lainnya, https://youtu.be/-vdCIF2Oe2E, https://youtube.com/watch?v=0zKpOoABF0Y
Selain kampanye dengan konten kreatif kekinian tentang nasionalisme rupanya Mas Pena tidak melupakan hobinya yang antik-antik. Lewat hobinya membatik ia sudah menyelenggarakan pameran desain batik karyanya. Selain itu bekerjasama dengan rekanannya yang punya pabrik batik, ia selenggarakan pula workshop membatik untuk warga negara asing.
Nah ini tulisan ditulis juga karena kemarin Mas Pena brondong saya tentang apa yang sudah dan sedang dilakukan. Dan kami pun berdiskusi tentang kemungkinan membuat “Batik Movement” dimana akan jadi trend buat anak-anak muda sekaligus menanamkan nilai-nilai kebangsaan pada fashion yang digunakan. Kita tunggu kiprah selanjutnya mas… !