Fanny Jonathans Poyk

Fanny Jonathans Poyk

KASTANEWS.COM: Sudah beberapa kali ingin kutorehkan karib yang satu ini terus tertunda. Namanya sudah ada dalam list yang sedikitnya ingin aku abadikan. Diabadikan menurut versiku lah.

Kalau tidak salah, dua minggu lalu dia berulang tahun. Pastinya sudah di atas 50 thn. Pikirku ini momentum yang pas kalau torehan itu aku wujudkan. Namun niat itu gak kesampaian.

Minggu lalu, saat Natal tiba, aku pikir saat yang pas juga, karena dia memang merayakan Natal. Tapi entah oleh karena apa, niat itu belum juga bisa terwujud. Begitupun saat tahun baru datang, momentum yang bisa dipaksakan untuk dipas-pasin untuk menyambut tahun baru. Eh ladalah, naskah itu gak pernah kejadian.

Namanya Fanny Jonathans Poyk. Aku dulu lebih sering memanggilkan Fanny Poyk. Dia karibku. Kami sama-sama menimba ilmu di Lenteng Agung 32. Sama-sama pernah menjadi kuli tinta. Masih terus berhubungan meski tidak sering-sering amat.

Ketertarikanku untuk mengguratkan namanya di laman karib.id karena rasa simpati dan apresiasiku yang tinggi untuk kesetiaannya pada dunia tulis menulis. Tak banyak orang yang mampu melakukannya seperti itu.

Aku mengenal Fanny Poyk sebagai salah seorang anak dari sastrawan besar asal Pulau Rote, NTT, Gerson Poyk. Gerson adalah penulis fiksi yang luar biasa. Dia yang memperkenalkan dan mempopulerkan Pulau Rote ke seantero jagad melalui tulisan-tulisannya. Melalui tulisan-tulisannya itu kini Pulau Rote dikenal banyak orang di muka bumi ini.

Darah menulis Gerson menurun deras ke tubuh Fanny. Coba perhatian laman face booknya. Sedikitnya dalam satu hari dia menulis satu status. Bahkan dalam satu hari dia bisa menulis lebih dari lima status. Bahkan status itu kerap kali bukan hal-hal remeh yang hanya berisi satu kalimat, melainkan tulisan-tulisan panjang.

Tak jarang Fanny menulis cerpen di halaman facebooknya. Ya, cerpen. Dengan enteng nya dia menulis cerpen di status facebooknya. Sementara aku, ada satu cerpen berjudul ‘Pada Sebuah Gambar’ yang sudah dirancang sejak tahun 1991 hingga sekarang gak kelar-kelar.

Kalau tidak salah ingat, Fanny sudah menulis sejak tahun 70an. Itu artinya dia sudah menulis sejak Sekolah Dasar. Kemudian dia sekolah Publisistik. Klop sudah.

Seingatku, Fanny pernah menjadi reporter di beberapa media. Mulai dari majalah hingga tabloid hiburan. Menulis cerpen di belasan koran dan majalah. Ada beberapa karya Novel. Sedangkan Puisi mungkin sudah sulit menghitungnya. Sesekali dia juga diminta menjadi Ghost Writer. Mungkin naskah pidato pejabat juga pernah. Apapun dia tulis. Ini yang gak bisa dilakukan banyak orang.

Aku ingat ucapan satrawan besar Indonesia, Pramudya Ananta Tour. Dalam salah satu karya Tetralogi Pulau Buru, di Novel Anak Semua Bangsa, ditulis Pram, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Pram mungkin mengutip ungkapan R.A. Kartini yang menghasilkan Habis Gelap Terbitlah Terang yang mengatakan, “Mengarang adalah bekerja untuk keabadian.”

Kitab-kitab suci yang ada hari ini, apapun agamanya, dia menjadi abadi juga salah satunya karena ditulis.

Inilah yang terus menggerakkanku kenapa Fanny Poyk ingin sekali aku abadikan. Mungkin melalui karya-karya tulisannya dia akan abadi dengan sendirinya. Tapi laman karib.id adalah aku yang melahirkannya. Maka aku ingin mengabadikan Fanny Poyk di halaman yang aku lahirkan.

Fanny adalah sosok yang terbuka. Bahasa kerennya ‘merdeka’. Memang begitulah seharusnya. Dia merdeka sejak dalam pikiran. Ini sangat terlihat dari status-statusnya di facebook.

Kerap kali aku sering dibuat geleng-geleng kepala memperhatikan statusnya. Fanny bisa berada di sebuah pementasan pembacaan puisi, tiba-tiba ada di sebuah sekolah mengajar murid menulis. Selang beberapa status, dia ada di luar kota karena urusan sastra dan kebudayaan. Pendek kata, hampir 90% aktifitasnya berurusan dengan dunia tulis menulis. Padahal usia tak lagi muda.

Seperti hari ini. Saat aku torehkan untuk laman karib.id, dia sedang berada di Kinabalu, Sabah, Malaysia. Urusannya tidak lain dan tidak bukan, tetap dengan dunia tulis menulis. Luar biasa.

Tapi sesekali juga, aku menyaksikan fotonya terpampang di laman facebooknya, dia sedang berkongkow dengan para pegiat kesusastraan di TIM. Tengah malam buta.

Itulah Fanny Jonathans Poyk, karibku, yang terus mengabdi pada keabadian.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *