Oleh Gantyo Koespradono
KASTANEWS.ID, JAKARTA: SIAPA calon presiden 2024? Kalau kita menjawab asal-asalan, pasti akan muncul nama-nama yang belakangan ini disebut-sebut punya elektabilitas lumayan.
Mereka di antaranya ialah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan Khofifah Indar Parawansa.
Setidaknya nama-nama itulah yang belakangan kerap disebut dan dikenal publik, yang kalau dipaksakan, eh, siapa tahu dapat lotere menjadi capres.
Para elite dan mereka yang paham politik kalau ditanya dengan pertanyaan di atas, jawabannya biasanya, “tunggu sinyal Jokowi.”
Tunggu sinyal Jokowi? Ya, harap maklum, sebab sebagai manusia biasa, Jokowi tentu tidak ingin dia mengestafetkan apa yang telah dirintis dan dibangun selama 10 tahun menjadi sia-sia karena jatuh ke tangan orang yang tidak tepat. Pethakilan (bahasa Jawa: banyak tingkah) pula.
Bisa saja orang yang tidak tepat itu karena dia super ambisius. Sekadar ingin berkuasa meski berkali-kali gagal menjadi RI-1, atau ke sosok yang ingin mengulang “sukses” pilkada, mengeksploitasi politik identitas dengan memanfaatkan kaum mabuk agama yang memonopoli surga adalah miliknya.
Jenderal Andika
Bebas, Anda boleh tidak setuju. Menurut saya, Jenderal Andika Perkasa yang dicalonkan Jokowi menjadi Panglima TNI adalah “kader” yang disiapkan Jokowi untuk menggantikannya. Menurut saya, inilah sinyal kuat itu.
Durasi jabatan Andika sebagai panglima TNI yang cuma satu tahun bukan masalah. Justru itu momentum yang tepat bagi Andika untuk menjadi orang sipil, sehingga tidak memunculkan dikotomi militer-sipil dalam pencapresan 2024. Apa bedanya dengan SBY?
Ya, pada 2024 nanti status Andika sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah mencalonkan diri menjadi presiden setelah pensiun sebagai TNI dan menang.
Mengapa Andika? Saya menduga Jokowi sangat paham bahwa ke depan, paling tidak dimulai tahun 2024, Indonesia memerlukan pemimpin berlatar belakang militer yang komitmen dan militasinya kepada NKRI tidak diragukan.
Andika di mata Jokowi adalah orang yang tepat untuk itu. Jokowi sangat sadar selama ia memimpin, ada gerakan yang (maaf) menjual agama untuk merongrong atau merusak kebinekaan.
Diakui atau tidak, ada upaya dari sekelompok atau segolongan orang yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain yang diasong dari negeri antah berantah.
Mereka sama sekali tidak bangga dengan capaian Indonesia selama negeri ini di bawah kepemimpinan Jokowi. Tak jelas apa salah Jokowi, mereka kok mengoleksi kebencian dosis tinggi kepadanya.
Dihadapkan pada realita seperti itu, Jokowi selama ini diam. Sebagai orang Jawa dia hanya mengungkapkan dengan bahasa bersayap saat memberikan sambutan pada HUT ke-10 Partai NasDem, Kamis 11 November lalu.
“Sering saya sedih saat posisi kita semakin dipandang dan dihormati oleh banyak negara, tapi di negara sendiri malah dikerdilkan,” katanya.
Jokowi cukup memberikan sinyal dengan kata-kata seperti itu sebagai pembenaran apa yang pernah diucapkan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Dikaitkan dengan situasi saat ini, bagi Jokowi mungkin lebih mudah menghadapi tantangan saat membangun tol ribuan kilometer daripada menghadapi mereka yang setiap hari cuma mengobral dan manata kata-kata provokasi di jalanan atau media sosial.
Saya menduga Jokowi menaruh harapan dan masa depan bangsa ini kepada Andika. Terserahlah kalau pembaca menyimpulkan saya lebay.
Saya yakin jika Andika sebagai capres berpasangan dengan Ganjar Pranowo (cawapres), Pilpres 2024 bakal cukup satu putaran.
Mengapa Bukan Ganjar?
Lho, bukankah Ganjar sudah digadang-gadang jadi capres?
Siapa pun bebas menggadangnya. Namun, menurut saya, pria ganteng berambut putih ini belum waktunya menjadi RI-1.
Soal ideologi bangsa, Ganjar memang tidak diragukan. Ia tegas soal itu. Namun, kalau kita pakai indikator kinerja, dia belum seupilnya dengan Jokowi.
Dari warga Jawa Tengah, saya dapat informasi bahwa Ganjar belum pernah membuat gebrakan spektakuler yang membuat warga Jateng senang dan bangga.
Termasuk dalam penanganan covid-19. Beda jauh dengan Jawa Barat. Saya punya dua keponakan di Semarang yang terinfeksi covid-19. Waktu itu covid sedang ganas-ganasnya.
Mereka sudah lapor ke RT dan “nasib” mereka sudah diketahui pihak kelurahan. Namun, sampai pulih, dua keponakan saya berusaha sendiri. Cari obat sendiri. Ditanya pun tidak.
Mendapat informasi itu, saya bisa pahami jika Puan Maharani menyindir Ganjar cuma piawai bermedsos seolah-olah kerja.
Puan dan Anies
Lalu bagaimana dengan Puan sendiri, bukankah bisa berpasangan dengan Andika?
Tidak! Puan oleh si emak diplot untuk RI-1. Bukan RI-2. Cek ombak sudah dilakukan. Spanduk, billboard “kepak sayap” sudah terpasang di mana-mana. Tapi, nggak ngefek. Elektabilitasnya nggak terdongkrak. Rugi deh bandar.
Lalu bagaimana dengan Anies Baswedan? Orang ini sudah mematutkan dirinya sebagai calon RI-1. Pendukungnya pasti nggak rela dia menumpang tenar jadi cawapres.
Lain soal kalau Anies berprinsip menerapkan formula “tak ada rotan akar pun jadi, tak dapat RI-1, RI-2 pun nggak apa.”
Mengamati kelakuannya belakangan ini, saya kok menyimpulkan dia kartu mati menghadapi 2024. Tapi, nggak tahulah kalau para elite politik secara berjamaah memutus urat malu mereka, lalu ramai-ramai mencalonkan Anies sebagai capres.
Kita hanya bisa menunggu kapan Jokowi menyebut seperti apa (siapa) sinyal kuatnya. Kita cuma bisa mendeteksi. Setidaknya sampai tahun depan. Mbok sabar.[]