KASTANEWS.ID, MEDAN : Harus ada ketentuan batas minimal bagi Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang bahan bakunya (raw Sugar) berasal dari produksi dalam negeri . Sejauh ini, raw sugar sepenuhnya dari impor, jika terus berlangsung maka akan mengganggu serapa tebu petani lokal dalam rangka mencapai swasembada gula.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Sugeng Suparwoto saat memimpin Tim Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi VII DPR RI ke PT Medan Sugar Industry (PT SMI) di Medan, Sumatera Utara, Jumat (8/10).
“Raw sugar-nya selama ini guna refinasi itu sepenuhnya impor. Harus ada ketentuan ke depannya setidaknya 30 persen raw sugar-nya berasal dari produksi dalam negeri,” jelas Sugeng.
Legislator dari Fraksi Partai NasDem ini menambahkan, apapun yang tergantung pada impor sifatnya tidak akan sehat. Sebab, dengan adanya impor tersebut, akan mengakibatkan keluarnya aliran modal (capital outflow).
Padahal aliran modal masuk (capital inflow) dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh kegiatan ekspor, investasi, dan juga konsumsi.
“Bayangkan kalau kita impor, uangnya justru keluar. Sehingga, pada gilirannya nanti untuk industri, bahan baku gula atau raw sugar-nya juga dari dalam negeri,” ujar wakil rakyat dapil Jawa Tengah VIII (Kabupaten Cilacap dan Banyumas) itu.
Di Indonesia saat ini hanya terdapat 11 perusahaan yang memiliki lisensi untuk mendapatkan kuota impor bahan baku gula, termasuk PT SMI.
Kebutuhan gula nasional mencapai sekitar 6 juta ton per tahun, yang terdiri dari 2,7-2,9 juta ton per tahun gula konsumsi (Gula Kristal Putih/GKP) dan 3-3,2 juta ton per tahun gula industri (Gula Kristal Rafinasi/GKR).
Saat ini, terdapat 62 pabrik gula berbasis tebu dengan kapasitas terpasang nasional mencapai 316.950 ton tebu per hari (TCD). Apabila seluruh pabrik gula tersebut berproduksi optimal dan efisien, dapat menghasilkan produksi gula sekitar 3,5 juta ton per tahun. Namun, jumlah tersebut baru mampu menutupi kebutuhan untuk gula konsumsi, belum dapat memenuhi kebutuhan untuk gula industri.
Karena itu, Sugeng meminta volume impor bahan baku gula untuk industri yang rata-rata 120 ribu ton per tahun berasal dari Thailand, Vietnam, dan Australia, harus dapat terserap betul untuk kebutuhan makanan, minuman, dan farmasi. Tidak untuk kepentingan konsumsi sehari-hari masyarakat.
“Hal ini karena gula menjadi komoditas penting masyarakat yang fluktuasi harganya mempengaruhi tingkat inflasi kita. Sehingga, menjadi bagian dari pangan yang perlu terus menerus diawasi, agar ketersediaan dan harganya dapat terjamin,” tegas Sugeng.
Dengan adanya pemberlakuan batas minimal bahan baku gula rafinasi berasal dari produksi dalam negeri tersebut, Sugeng berharap terjadi harmonisasi kebijakan di tingkat kementerian.
“Inilah yang memerlukan harmonisasi kebijakan antara Kemenperin, Kementan, Kehutanan yang memiliki Perhutani dan lahan-lahan tebu itu, dan sebagainya. Sehingga bahan bakunya tidak selamanya impor,” pungkasnya.(dpr.go.id/*)