JAKARTA (Kastanews.com): Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakpus No 757 tahun 2022 merupakan penodaan terhadap konstitusi, dalam putusan tersebut menyatakan “Menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024…”, padahal jelas amanat konstitusi menyatakan pemilu dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali, ini merupakan turbulensi yustisial yang mencoreng muka eksistensi peradilan.
“Sejak dari awal ada kecurigaan publik ketika PN Jakpus memeriksa gugatan ini; Pertama, jika melihat dalam skema kontestasi politik bahwa sengketa sebelum pencoblosan yang berdimensi administrative menjadi domain Bawaslu, dan Pengadilan Tata Usaha Negara TUN). Seharusnya PN Jakpus menyatakan gugatan tidak dapa diterima (niet ontvankelijke verklaard),” ungkap Pengamat Hukum Tata Negara DR. Atang Irawa dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/3).
Ketua Bidang Badan Legislasi DPP Partai NasDem itu menambahkan, menjadi wajar kecurigaan publik ini semakin menguat karena gugatan perdata tersebut menggunakan dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH) padahal jika memperhatikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 2 Tahun 2019 menyatkan bahwa Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidsdaad), dan keputusan KPU selain penetapan perolehan suara merupakan perbuatan pemerintahan yang menjadi domain peradilan TUN jika mendasarkan pada UU Peradilan TUN (Pasal 2 UU No 9 Tahun 2004).
“Jika memperhatikan kompetensi absolut peradilan, maka jelas senyatanya PN Jakpus mencoba merobek peraturan perundang-undangan bahkan konstitusi, karena pengaturan tentang kewenangan pengadilan secara absolut sangat jelas dan inperatif yang tidak mungkin ditafsir. Ini sangat berbahaya gejala turbulensi yustisial jika dibiarkan secara liar dalam penegakan hukum dan keadilan,” terang Atang.
Atang juga mengingatkan, semakin kentara bahwa hakim melakukan ultra petita (penjatuhan putusan Majelis Hakim atas suatu perkara yang melebihi tuntutan atau dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU)) dengan melompat dari apa yang dimohonkan.
“Apalagi kita, tahun ini adalah penyelesaian perdata yang seharusnya putusannya terkait dengan perbuatan KPU terhadap Penggugat dalam tahapan pemilu yang dimohonkan. Namun justru putusanya berakibat pada seluruh tahapan pemilu,” tegas Atang.
Ironis memang, tambah Atang, jika memandang bahwa Hakim dianggap tidak atau bahkan belum tahu regulasi tentang kontestasi politik maka semakin menunjukan peradilan kita menuju ke arah kesesatan berpikir, karena hakim harus dianggap memahami hukum sebagai bagian dari Prinsip Ius Curia Novit (hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara).
Berkaca dari hal tersebut, terang Atang, ini adalah preseden yang tidak baik bahkan menabrak konstitusi. Seyogyanya Bawas (Badan Pengawas) Mahkamah Agung harus melakukan pemeriksaan terhadap orkestrasi yustisial hakim di PN Jakpus yang telah menimbulkan turbulensi penerapan hukum.
“Apalagi persoalan ini terkait dengan kompetensi absolut dan penyimpangan norma yang sudah jelas dan tegas serta imperatif diatur dalam UU dan Konstitusi,” tukas Atang.
Ditambahkan Atang, dua kekuasaan besar yang diberi tangung jawab menegakkan hukum dan keadilan yaitu MA dan MK sekalipun, tidak diberikan kewenangan untuk melakukan penundaan pemilu. Tapi ini peradilan yang berada di bawah MA malah merobek konstitusi, sehingga telah menodai demokrasi yang menjadi komitmen kebangsaan. Bahkan jika melihat skema UU Pemilu, bahwa penundaan pelaksanan pemilu merupakan domain KPU melalui dua kanal yaitu pemilu lanjutan dan/atau pemilu susulan.
“Miris memang PN Jakpus sudah melakukan penafsiran dan membentuk norma baru. Padahal kewenangan demkian hanya dapat dilakukan oleh lembaga pembentuk UU melalui perubahan UU (Positif Legislation) atau melalui pengujian UU oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Atang.
Sebaiknya, saran Atang, proses banding yang akan dilaksanakan KPU harus dikawal seluruh elemen bangsa, agar tidak terjadi orkestrasi yustisial yang dapat menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan penodaan terhadap kedaulatan rakyat. Maka sebaiknya perlu menjadi perhatian Badan Pengawasan Mahkamah Agung termasuk Komisi Yudisial.
“Semoga serangkaian orkestrasi ini tidak seperti yang dikhawatiran banyak kalangan bahwa proses kontestasi politk menuju 2024 terkesan atmosfir politik dan hukum dijadikan sebagai komoditas dalam rangka menunda pemilu, sejak dari upaya amandemen, dektrit, bahkan referendum (meskipun aturannya sudah dicabut dan tidak berlaku), perubahan sistem pemilu bahkan putusan PN Jakpus,” pungkas Atang.(rls/*)