JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Pertahanan berbasis ekonomi adalah role model untuk menangkal ancaman. Negara tak boleh kalah melawan kartel yang mengincar pulau-pulau terluar.
Enskripsi itu terpahat di batu prasasti setinggi 2 meter lebih. Posisinya berada di bawah rerimbunan batang pohon, di mulut dermaga kayu dan samudera bebas. Inilah tugu saksi bisu menyembulnya kembali Pulau Nipa yang nyaris tenggelam digerus air laut dan penambangan pasir ilegal.
Dari titik koordinat 1° 9′ 13″ LU, 103° 39′ 11″ BT, reklamasi pulau etalase Indonesia di jalur pelayaran dunia itu ditancapkan. Syahdan, pada 20 Februari 2004, Nipa ditetapkan sebagai pulau terluar NKRI. “Yang teken prasasti itu Buk Mega (Megawati Soekarnoputri, Presiden RI kala itu),” kata Muhammad Reza, pemandu media ini, di Pulau Nipa, Batam, Kepulauan Riau (Kepri).
Reza ikut meriung berjalan kaki mengelilingi pinggiran punggung pulau terluar Indonesia itu setelah berlayar satu jam lebih, 30 mil, dari dermaga Tanjung Riau, Batam. Tim menumpang speed boat bertenaga 30 knot dan bermesin 750 paardenkracht. Lalu, melintasi gugusan pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau dan berselisihan kapal-kapal barang ukuran raksasa.
Di siang menyengat itu tubuh gempal Reza dibanjiri peluh, terpanggang sinar baskara yang hampir sejajar di atas kepala. Ini adalah perjalanan menuju dermaga kayu tugu Megawati, tempat sandar speed boat setelah menurunkan tim di dermaga utama depan Pos Lantamal. “Ombak kencang, kapal gak boleh sandar di depan, takut pecah terbentur dermaga beton,” Reza menjelaskan sambil terus berjalan.
Sesekali Reza menoleh ke kiri, ke arah kapal-kapal kargo danawa yang lempar jangkar di perairan internasional, di beranda pelabuhan Singapura.
“Mereka antre bang. Dan kalau bongkar muat antarkapal di perairan kita, tugboat itu yang memandu,” cerita Reza sambil menunjuk dua tugboat parkir di perairan Indonesia.
Mengenakan topi pet putih, sepatu ket, blue jeans dan kaos dibungkus rompi cokelat, lelaki 38 tahun ini tampak enerjik. Ia berusaha menjelaskan fungsi batu pemecah ombak yang membentengi sekeliling pulau seluas 62 hektare itu.
Ribuan tumpukan batu cetakan berbentuk segi tiga, berdiameter dua kali lebih besar dari ban truk tronton, mencuri perhatian para pelintas. Batu-batu perisai terjangan air laut itu mengelilingi bibir pantai Pulau Nipa yang nyaris karam pada 2002. “Biar pulau gak abrasi,” katanya.
Di sisi kanan sepanjang perjalanan kaki, pulau yang dulunya tandus, kini menghijau ditanami pohon pinus dan aneka tumbuhan. Sebagian pepohonan liar tumbuh subur di air payau menutupi area terbatas markas Pos TNI AL, penjaga terdepan di Pulau Nipa. Tumbuhan hutan muda itu terus bergerak melambai digoyang angin dan sisa hempasan air laut yang merembes dari bawah jalan lintasan Reza dan tim.
Belasan menit kemudian, di ujung jalan, Reza dan tim membelok ke kanan. Ia menunjukkan kawat pembatas yang memisahkan antara zona militer dan area konsesi Badan Usaha Pelabuhan (BUP) PT Asinusa. Persis di depannya, tumpukan kontainer berjajar seperti batu domino.
Beberapa kotak kargo itu disusun bertingkat tiga, membentuk persegi. Bagian tengahnya dicat kuning mencolok, dipasangi pintu dan jendela yang sebagian kacanya disilang cat putih; tanda belum dipakai. Di bagian luar, dua belas unit mesin penggerak air conditioner ditempelkan ke dinding kontainer itu. Posisinya berbeda-beda, tidak di satu kontainer.
Menurut keterangan, kotak-kotak kargo pelat besi itu sempat digunakan untuk perkantoran dan sarana pendukung bisnis kepelabuhan. Tapi terhenti sebentar karena pegebluk Covid-19. Jika kelak difungsikan kembali, kehadiran container office ini akan ikut memanaskan “atmosfer” ekonomi di Pulau Angup, sebutan lain Pulau Nipa.
Kontainer-kontainer itu adalah properti milik PT Asinusa, pemegang konsesi 24 tahun yang menjalankan aktivitas ship to ship transfer di perairan dan aktivitas kepelabuhan lain di daratan Pulau Nipa. “Karena pandemi Covid-19, aktivitas kami hentikan sementara,” jelas Satrio Mursandhi yang akrab disapa Dimas, Direktur Utama PT Asinusa.
Di pulau ini, Asinusa dikawani PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), pengendali BUP lain. Perusahaan pelat merah ini mendapat relaksasi menjalankan ativitas ship to ship (STS) transfer dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjung Balai Karimun, Kepri. “Konsesi kami sedang dalam proses,” kata Abrar, General Manager PT Pelindo Kepulauan Riau, di Batam.
Posisi strategis Pulau Nipa telah lama menjadi intaian para broker kepelabuhan dan pelaku insider trading yang ingin mengail cuan demi mengenyangkan “perut” pribadi dan kelompok. “Mereka menyusup di tataran entitas legal. Biasanya melibatkan orang dalam. Makanya, gerakan mereka hampir tak terbaca, kecuali ada bocoran dari dalam juga,” cerita sumber media ini.
Contoh kasus teranyar terjadi pada awal Maret 2023. Abrar, bos Pelindo di Kepri, sempat dipanggil Tim Intelijen Kejaksaan Tinggi Kepri. Mitra kerja PT Pelindo di wilayah kerja KSOP Tanjung Balai Karimun diduga menyalahgunakan izin dalam pengoperasian kapal untuk jasa pandu, jasa marine, jasa peralatan dan jasa lainnya. “Ini diduga kuat juga melibatkan orang dalam Pelindo,” tambah sumber itu.
Tim Intelijen Kejati Kepri mengindikasikan kasus ini telah merugikan keuangan negara. Bahkan nama Abrar ikut terseret dalam pusaran kasus ini. Tapi, Abrar membantah tuduhan itu. “Ya, kita memang dipanggil, itu masalah izin-izin, sudah clear. PNPB semua kita jelaskan, kita bayarkan. Tidak ada masalah lagi,” kata Abrar dengan nada santai.
Tak cuma Abrar, General Manager PT Asinusa di Batam, Rizal, juga kena imbasnya. Ia ikut dipanggil memberi keterangan pembanding terkait dugaan penyalahgunaan izin pengoperasian kapal oleh mitra PT. Pelindo yang terindikasi merugikan keuangan negara. “Sudah selesai. Kita menjelaskan sesuai tugas pokok dan fungsi BUP di area konsesi kita saja,” kata Rizal di Batam.(rah)