KASTANEWS.ID, PADA SUDUT RUANG: Hari guru baru saja diperingati beberapa hari lalu. Bagi yang pernah sekolah, guru tentu memiliki arti penting. Begitu mulianya guru, meski sudah tidak lagi mengajar, kita akan tetap memanggilnya pak guru atau bu guru.
Begitu bernilainya seorang guru, kadang kita kerap bingung harus membalas jasanya dengan apa. Sebab, jasa guru tak akan bisa ditukar dengan apapun. Ilmu yang diberikan, sejauh yang bermanfaat, selamanya akan kita bawa mati.
Lalu apa yang harus kita berikan, ketika guru kita meminta pertolongan? Tidak usah berpikir dua kali, beri pertolongan itu semampu kita. Sebab, bisa jadi guru itu tak akan pernah meminta tolong ke pada kita untuk ke dua kalinya.
Coba diingat. Sepanjang kita hidup, sudah berapa banyak orang yang telah menjadi guru kita. TK, SD, SMP, SMA, Kuliah, pernahkah menghitung jumlah guru kita? Yakini tidak akan pernah ada orang yang menghitung jumlah guru selama dia duduk di bangku sekolah.
Dari sekian banyak guru itu, coba kembali diingat, ada berapa banyak yang pernah meminta pertolongan. Yakinilah, jemari tangan kita tidak akan habis untuk menghitung jumlah guru yang meminta pertolongan. Bahkan jemari tangan kita dari satu tanganpun mungkin tidak habis. Sebab guru mengajarkan ilmunya tanpa pamrih. Tidak pernah mengharap belas kasihan. Guru adalah guru, yang memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan hati yang tulus.
Teman, salah seorang guru kita sedang mengharapkan bantuan. Bukan untuk dirinya. Bukan untuk keluarganya. Bukan untuk sanak saudaranya. Tapi untuk masjid di depan rumahnya yang harus dibenahi karena mengalami kerusakan yang cukup serius.
Bayangkan guru kita ini, selagi meminta bantuan sekalipun, justru tidak untuk dirinya sendiri.
Alkisah guru kita ini menghubungi salah seorang kawan. Sang guru bicara sangat sopan dan sangat hati-hati sekali. Bicaranya baik-baik saja, meski sang guru sedang bicara dengan muridnya yang dulu rasanya kawan ini bukan murid yang baik-baik amat.
Kemudian sang guru menceritakan situasi yang tengah dihadapi berkaitan dengan masjid di depan rumahnya. Rupanya masjid itu harus direnovasi karena atapnya bocor. Saat musim hujan begini, atap yang bocor bukan lagi membasahi masjid, melainkan menggenangi masjid.
Sementara dalam waktu dekat, peringatan Maulid Nabi sudah dekat. Tepatnya hari Jumat, tanggal 1 Desember adalah hari besar umat Islam. Bisa jadi masjid itu memang harus direnovasi karena banyak alasan. Selain kerusakannya sendiri, mungkin juga karena masjid itu akan digunakan untuk memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.
Sesungguhnya, saat ini kerusakan mesjid itu tengah direnovasi. Tapi masalahnya adalah, kekurangan sejumlah dana yang dibutuhkan untuk menyempurnakan renovasi tersebut. Nilainya kurang lebih mencapai 10 juta rupiah.
“Bisakah membantu sekedarnya, ya kalo sampe terkumpul 10 juta ya syukur deh, kalo gak juga gak papa. Sekali ini saja,” ujar sang guru pada kawan yang dulu ketika jadi murid bukan murid yang baik-baik amat.
Tidak ada yang dijanjikan oleh kawan kita ini. Hanya saja, permintaan ini diharapkan bisa terkumpul sampai tanggal 30 November. Artinya, kalau sekarang tanggal 29 November, berarti tanggal 30 November itu besok.
Persoalan ini disampaikan di dewan pengurus angkatan. Disambut baik oleh anggota lain hingga akhirnya disebarkan informasinya ke seluruh angkatan 1987.
“Ini tiket ke surga. Ada baiknya ajak teman yang lain,” ujar salah seorang teman.
Maka, tersebarlah informasi tersebut hingga sampai ke media ini.
Dari peristiwa ini, ada catatan menarik yang bisa diamati. Sebut misalnya permohonan sang guru yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Selaginya meminta bantuan, justru tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kemaslahatan umat agar bisa beribadah dengan tenang, tanpa diganggu guyuran air hujan.
Kemudian, sadarkah kita, yang mengkoordinir mencari bantuan untuk renovasi masjid dilakukan oleh kawan yang justru bukan muslim. Inilah yang disebut kekompakan, inilah soliditas, inilah kebhinnekaan, inilah Indonesia, inilah yang dulu pernah ditanamkan guru-guru kita, inilah seharusnya Indonesia, gotong royong, saling membantu, saling menolong, saling meringankan beban yang ditanggung sesamanya.
Inilah luar biasanya lulusan SMA 82 Daha Angkatan 1987, yang masih menjaga silahturahmi dan masih mau bahu membahu membantu.
Lalu, tunggu apa lagi. (82daha/28112017)