Oleh Gantyo Koespradono
KASTANEWS.ID: WARTAWAN senior Gunawan Mohamad (GM) belum lama ini membuat cuitan di Twitter: “Di Indonesia sekarang, orang disanjung sebagai ‘filosof besar’ tanpa menunjukkan satu karya filsafat.”
Saya menduga “filosof” (sengaja saya mengikuti GM menggunakan tanda kutip) yang dimaksud adalah lelaki berkacamata yang sejak Jokowi menjadi presiden selalu berisik dan dijadikan narasumber media massa.
Seolah-olah ia benar-benar hebat, pemikir kelas wahid. Padahal, banyak orang waras menganggap dia cuma peculas. Pecundang, dan (maaf), jangan-jangan sedang terganggu jiwanya.
Sebuah stasiun televisi nasional bahkan hampir selalu menjadikan lelaki “keminter” tersebut sebagai narasumber untuk topik atau tema apa pun, mulai dari politik sampai kuliner. Bahkan kalau perlu ada kasus anak mencuri mangga milik tetangga pun, ia diundang menjadi nara sumber dan ujung-ujungnya menyalahkan Jokowi.
Setop! Saya tidak akan mengulas lebih lanjut siapa dia sehingga GM meragukannya sebagai “filosof” tanpa karya filsafat.
Saya percaya, orang itu dalam hati kecilnya juga menyesalkan (dengan catatan kalau ia waras, ya) mengapa ia dilahirkan dan jadi seperti itu: dianggap filosof tanpa karya.
Menurut saya, pers (media) turut ambil bagian membesarkannya dan akhirnya menjadikannya sebagai pecundang. Penyinyir kelas wahid.
Sejak era reformasi, khususnya sejak Jokowi terjun (diterjunkan) ke gelanggang politik, saya amati, media arus utama kita (tidak semua) betul-betul telah melakukan kesalahan fatal dalam memilah dan memilih narasumber.
Selama saya menjadi wartawan (kini sudah pensiun), media tempat saya bekerja betul-betul sangat selektif dalam memilih narasumber. Sang narasumber harus dilihat keahlian dan kompetensinya. Juga track record-nya. Bukan asal comot.
Sekadar contoh, jika ada kasus pelecehan seksual, media saya tidak mungkin menjadikan anggota Komisi VII DPR (membidangi antara lain pertambangan) sebagai narasumber. Anggota DPR yang mengurusi ini dan layak dijadikan narasumber adalah yang duduk di Komisi III (hukum) atau Komisi IX (sosial).
Lha, sekarang? Media arus utama tak peduli, mulai dari ustaz, pendeta, pastur, habib, budayawan dan ujung-ujungnya “filosof” tanpa karya filsafat diwawancarai. Dijadikan narasumber untuk urusan seks.
Mumpung tanggal 9 Februari nanti insan pers merayakan Hari Pers Nasional, tak ada salahnya saya ungkap bagaimana seharusnya media massa (pers) berperan mewaraskan dan mencerdaskan bangsa.
Banyak yang belum tahu, di redaksi surat kabar (yang tahu akan peran dan fungsinya), tidak semua orang penting layak jadi berita, juga gelar yang dimiliki.
Katakanlah suatu kali ada acara seminar yang menghadirkan Menteri Keuangan Sri Mulyani (ia seorang master dan doktor ekonomi). Tema seminar ternyata soal kesetaraan gender.
Jika pun ada media yang meliput dan memberitakannya, apakah layak kita sebut jabatan (Dr) Sri Mulyani?
Jelas tidak, sebab apa yang disampaikan di sana bukan kapasitasnya sebagai doktor bidang ekonomi.
Bahkan ketika Sri Mulyani menjelaskan dalam konferensi pers terkait dengan perkiraan inflasi, media pun tidak perlu menulis gelarnya.
Gelar Dr baru ditulis kalau Sri Mulyani berbicara dalam forum ilmiah di kampus dengan topik ekonomi, itu pun cukup disebut sekali. Tidak perlu berkali-kali alias lebay.
Saya hendak mengatakan bahwa peraturan dan etika serta soal-soal kepantasan yang berlaku di media massa arus utama sangat ketat.
Tapi sekarang? Berdasarkan pengamatan saya, ada mantan menteri yang setiap hari main di medsos dan mengomentari apa pun peristiwa yang terjadi di tanah air.
Yang mengherankan ada saja media yang mengutip cuitannya di Twitter dan menjadikannya sebagai berita. Media kekurangan informasi dan akhirnya memuat berita sampah. Tak berkelas.
Tugas media massa adalah menjaga keamanan negara di samping tetap kritis terhadap kinerja pemerintah.
Dalam masa pandemi covid-19 seperti saat ini, tugas media massa seharusnya ikut ambil bagian menenteramkan dan mengedukasi masyarakat serta mengedepankan akal sehat.
Tapi yang mengherankan, pers ikut memanaskan situasi menjadi keruh dengan menjadikan “tokoh” agama dan provokator antivaksin sebagai sumber berita.
Pers juga memiliki fungsi sebagai kontrol sosial dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila, penegakan hukum, dan penegakan hak asasi manusia.
Pers sebagai media kontrol tercantum dalam UU Nomor 40 tahun 1999 pasal 6 butir (d) yang berisi: “Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.”
Melakukan kritik, koreksi dan saran demi “kepentingan umum” bukan berarti semaunya sendiri. Masyarakat (kepentingan umum) harus dicerahkan. Diwaraskan.
Karena itu sungguh aneh dan melawan logika jika ada orang yang mengaku “wartawan senior” dan sedang tersandung masalah kriminal, kasus hukumnya minta diselesaikan dengan UU No 40/1999 tentang Pers.
Media massa makin nggak waras jika terhadap kasus tersebut ujung-ujungnya menjadikan “filosof” tanpa karya itu sebagai narasumber. Kalau ini yang dilakukan, percayalah ujung-ujungnya ia akan menyalahkan Jokowi.[]