Kerugian Negara Capai Rp1,3 Triliun Akibat Penerima LPDP yang Mangkir

Kerugian Negara Capai Rp1,3 Triliun Akibat Penerima LPDP yang Mangkir

JAKARTA (Kastanews.com)- Ramai pemberitaan terkait para awardee, atau penerima LPDP – Lembaga Pendidikan Dana Pribadi (LPDP) yang mangkir dari tanggung jawab untuk kembali ke Tanah Air.

Staf Khusus Presiden RI Bidang Inovasi, Pendidikan dan Daerah Terluar Billy Mambrasar memberikan ilustrasi terkait kerugian negara yang harus ditanggung akibat mangkirnya para awardee yang tidak memiliki integritas maupun tanggung jawab moral dan materiil.

“Bayangkan, kalau kita alihkan, biaya pendidikan satu orang untuk studi pascasarjana misalnya di Amerika sekitar Rp2-3 miliar termasuk biaya hidupnya. Ada kurang lebih 400 orang yang mangkir, artinya dana sekitar Rp1,2 triliun tersebut hilang begitu saja dari negara, ujar Billy di Jakarta, dikutip Kamis (23/2/2022).

“Bayangkan, jumlah yang sama bila dialihkan untuk membantu UMKM, masing-masing 10 juta rupiah saja, akan ada setidaknya 12.000 UMKM yang kita dapat kita dukung,” sambung pria yang juga merupakan Duta SDGs ini.

LPDP yang merupakan satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sebelum pada 2012 lalu disahkan menjadi Badan Layanan Umum. Sesuai ketentuan yang berlaku, para awardee, atau penerima beasiswa LPDP memiliki kewajiban atas kontrak pengabdian 2N+1 untuk bekerja secara berturut-turut selama dua kali masa studi ditambah satu tahun.

Billy yang juga adalah penerima beasiswa LPDP menyatakan, bahwa para awardee yang tidak komitmen untuk menjalankan pengabdian wajib mendapatkan sanksi, baik itu berupa pengembalian dana pendidikan, maupun sanksi sosial dengan publikasi di kanal serta media sosial resmi LPDP.

“LPDP dibentuk untuk kepentingan kualitas pendidikan generasi mendatang dan tentunya kepentingan Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu visi LPDP untuk mendorong tercetaknya pemimpin masa depan yang tersebar di berbagai sektor serta mendorong inovasi bagi Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan,” ungkapnya.

Dia berpikir, bagaimana mereka bisa berkontribusi bagi Indonesia, bagaimana bisa mengabdi, apabila yang dipikirkan hanya perut sendiri. Harusnya, mereka merasa malu dan ada rasa bersalah kepada masyarakat Indonesia, tidak hanya yang kelas atas, namun juga kelas menengah ke bawah; kepada semua yang membayar pajak dan retribusi.

“Bagaimana bisa merasa tenang dan nyaman ketika hidup mangkir dari kewajiban untuk mengabdi? Ini bicara tentang integritas dan hati nurani,” ucap Billy.

“Saya sendiri adalah awardee LPDP dan beasiswa lainnya. Kalau hanya ingin mencari kenyamanan untuk diri sendiri dan keluarga, saya bisa saja memilih tinggal di luar negeri, bekerja sebagai profesional dengan gaji yang menggiurkan lantas hidup menua di negara yang saya inginkan. Tapi itu namanya seperti kacang lupa akan kulitnya,” ungkapnya.

“Tidak salah menginginkan kehidupan yang lebih baik di luar sana. Tetapi, jangan gunakan uang LPDP, silakan gunakan dana pribadi atau cari pendanaan beasiswa lainnya,” tukas Billy secara tegas.

Billy Mambrasar yang mendapatkan mandat dari Presiden Joko Widodo untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan inovasi di daerah terluar pun memberikan pandangannya terkait respon LPDP dalam hal ini. Direktur Utama LDP, Andin Hadiyanto secara resmi telah bahwa mereka yang tidak mau mengabdi sesuai ketentuan yang disepakati secara resmi di awal, akan mendapat sanksi pengembalian dana pendidikan, pemblokiran dari program LPDP di masa depan, dan publikasi di kanal resmi LPDP.

“Saya mengapresiasi Bapak Dirut Andin beserta segenap jajaran yang bekerja sekuat tenaga mengawal kasus ini. Saya dukung penuh langkah LPDP untuk memberikan sanksi tegas bagi 400 lebih penerima beasiswa yang mangkir dari tanggung jawab. Panggil pulang mereka, usut sampai tuntas,” tutupnya.

Adapun menurut LPDP, kembali dan mengabdi secara fisik ke Indonesia akan memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini mengingat jumlah penduduk dengan pendidikan S2 dan S3 saat ini di Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas.(rah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *