MALUKU, JELUKA.ID (27 September): Komposisi lima kursi di DPRD Kabupaten Maluku Tenggara, menempatkan partai NasDem ibaratnya nona manis dalam pemilihan kepala serempak tahun 2018 nanti.
Apalagi, sejumlah tokoh yang mendaftarkan diri sebagai calon bupati dan wakil bupati kabupaten Malra, merupakan anak-anak daerah yang tidak diragukan kualitasnya untuk memimpin masyarakat Kei (Evav) lima tahun mendatang.
Salah satunya, balon Bupati Malra, HM Thaher Hanubun yang juga kader partai NasDem.
HM Thaher Hanubun di kenal masyarakat Kei sebagai tokoh adat Maluku Tenggara yang sederhana dan merakyat.
Pada pilkada 2012 lalu, HM Thaher Hanubun hampir saja menumbangi calon petahana, Andreas Rentanubun dari partai Golkar yang berakhir di Meja Mahkamah Konstitusi (MA) di Jakarta.
HM Thaher Hanubun memiliki basis massa yang jelas sejak dipercayakan sebagai Anggota DPRD Provinsi Maluku dua periode dari partai Pelopor (2004-2009)-(2009-2014) hingga pencalonannya sebagai Bupati Malra tahun 2013 lalu.
Pada pilkada tahun 2013 lalu, HM Thaher Hanubun memiliki elektabilitas 29 persen dan memiliki basis terkuat di Kei Kecil, Kei Kecil Timur dan Kei Kecil Barat dengan Populasi di tiga kecamatan mencapai 96.442.
Elektabilitas HM Thaher Hanubun saat itu melebihi calon incumbet, Andreas Rentanubun yang hanya 27 persen.
Dalam Pilkada Serempak Tahun 2018 ini di kabupaten Malra, HM Thaher Hanubun merupakan kuda hitam bagi calon bupati lainnya.
Kader NasDem yang satu ini, dipastikan memimpin kabupaten Malra periode 2018-2023, apabila mendapat dukungan penuh dari partai politik termasuk partai NasDem.
Dalam wawancaranya, Senin (25/9) di Ambon, HM Thaher Hanubun siap menghadirkan perubahan di kabupaten Malra. Bersama partai NasDem ia yakin, seluruh kegelisahan masyarakat Kei akan terjawab.
“Tiga persoalan dasar yang dihadapi masyarakat kabupaten Malra, yaitu jalan, air bersih, lapangan pekerjaan serta transportasi akan menjadi perhatian khusus pemerintah kedepan,” ungkap Hanubun.
Ditambahkan, selain tiga pesoalan dasar yang hingga saat ini pemerintah Kabupaten Malra belum terjawab secara optimal, perlu pula dilakukan restorasi budaya.
Namun, menurut ia restorasi budaya ini tidak kemudian mengabaikan tiga tiang penyangga tatanan kehidupan masyarakat evav yakni “adat, pemerintahan dan agama.
Menurut ia, sejumlah persoalan mendasar dan mendesak membutuhkan sosok kepemimpinan (Bupati) yang tidak saja memiliki visi dan misi yang pro rakyat namun juga sosok pemimpin yang mengerti dan memahami apa sesungguhnya yang dibutuhkan rakyat Malra.
“Eksistensi dan jati diri masyarakat malra menjadi sebuah pilihan yang tidak dapat ditawar-tawar. Itu harga mati,” tandasnya.
Tatanan hidup masyarakat Kei yang telah digariskan oleh para leluhur harus dikembalikann pada proporsinya. Hak-hak dasar masyarakat harus dapat dipenuhi dan tidak lagi dieksploitasi, dan jauh lebih penting adalah menrekonstruksi tata ruang wilayah dengan menjadikan Marla sebagai pusat kota suci bagi umat katholik”.
“Maluku Tenggara, kedepan haruslah menjadi beranda bagi cerminan kehidupan masyarakat Indonesia yang “plural” berlandasarkan nilai-nilai kebhinekaan. Menghargai perbedaan dan hidup damai dalam perbedaan,” pungkas Hanubun.(jlk)