Gus Yahya: Bahwa NU Adalah Bekal Masa Depan

Gus Yahya: Bahwa NU Adalah Bekal Masa Depan

JAKARTA (Kastanews.com)- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengajak kepada seluruh nahdliyin untuk bersyukur karena akan melangkah ke gerbang abad kedua. Tepat pada hari ini ormas Islam yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari itu berusia 100 tahun.

“Hari ini kita melangkahkan kaki memasuki gerbang abad kedua Nahdlatul Ulama,” kata Gus Yahya, sapaan KH Yahya Cholil Staquf, dalam perayaan Satu Abab NU di Stadion Delta Gelora Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/2/2023).

Dengan pencapaian usia NU menyentuh satu abad, kata Gus Yahya, tidak ada hal lain yang dilakukan, kecuali bersyukur kepada Allah SWT. Menurutnya, 100 tahun NU merupakan satu abad melatih diri dan hasil tirakat para wali, kiai, serta segenap masyarakat yang meyakini bahwa NU adalah bekal masa depan.

“Yang tidak pernah berhenti meyakini bahwa Indonesia adalah tanah yang dilimpahi ridha Allah, diberkahi Allah untuk menjadi titik tolak masa depan yang lebih mulia bagi umat manusia. Tidak berhenti meyakini bahwa dalam keadaan apa pun, pertolongan Allah akan senantiasa bersama kita,” katanya.

Tirakat satu abad, kata Gus Yahya, menjelma sebagai berkah yang sangat besar dan menjadi momen mendigdayakan Nahdlatul Ulama. “Tirakat satu abad menjelma berkah raksasa, tirakat satu abad Mendigdayakan Nahdlatul Ulama,” katanya.

Sejarah Singkat Berdirinya NU Nahdlatul Ulama (NU), yang secara harfiah berarti Kebangkitan Para Ulama, berdiri pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan 31 Januari 1926, di Jombang, Jawa Timur, zaman Hindia Belanda.

Pendirinya adalah KH Hasyim Asy’ari. Mengutip situs resminya, lahirnya NU tak terlepas dari persoalan yang dihadapi para ulama pesantren ketika Dinasti Sa’ud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW. Raja Sa’ud juga ingin menetapkan Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan dan menolak praktik mazhab lainnya.

Keinginan Raja Sa’ud itu akan dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) Mekkah. Bagi ulama pesantren, rencana kebijakan itu mengancam kemajuan Islam. Mendengar keinginan Raja Sa’ud itu, tokoh ulama pesantren Indonesia, KH Abdul Wahab Chasbullah kemudian mengusulkan kepada Centraal Comite Chilafat (CCC) yang akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam pada 1926 agar mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermazhab.

Sistem bermazhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan. Sayang, usulan itu tidak mendapat perhatian dari para anggota CCC. Kiai Wahab Chasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang dinamai Komite Hijaz pada Januari 1926. Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam itu lalu mendapat restu dari KH Hasyim Asy’ari.

Setelah perhitungan matang, pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka membahas utusan yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam di Mekkah. Rombongan ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz.

Namun setelah itu timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? KH Mas Alwi bin Abdul Aziz kemudian mengusulkan nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) dan disepakati pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 Masehi. Berdasarkan penanggalan hijriah tersebut, maka 16 Rajab 1444 H atau Selasa, 7 Februari 2023, NU akan tepat berusia 100 tahun atau satu abad.(rah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *