KASTANEWS.COM: Aku mengenalnya dengan nama Gunarso. Baru sekitar tiga tahun lalu, baru tahu kalau nama panjangnya Gunarso B Suwarno. Itupun masih belum tahu, B-nya itu apa. Walaupun tidak tahu, tapi tidak mengurangi respek kami masing-masing.
Dia karibku. Cukup lama kami tidak bersua. Setelah dia meninggalkan ‘Kedoya’ entah sudah berapa belas tahun lalu, kami kembali bertemu di Senayan. Rupanya dia kini menjadi kamera person di TV Parlemen. TV Channel milik DPR RI.
Aku memanggilnya dengan sapaan Gun, atau sesekali dengan sebutan “Su…” kependekan dari (maap: Asu). ha ha ha. Itu adalah sapaan akrab. Bukan makian. Seperti anak-anak muda Jawa Timuran kala menyapa teman dekatnya dengan sapaan Chuok, yang dipenggal dari kata Janchouk.
Dulu, Gunarso adalah teman satu tim. Kami kerap menyambangi berbagai tempat. Untuk peliputan. Tapi memang, program otomotif adalah yang paling sering kami kerjakan bersama. Seingatku, sejak aku mengenalnya, Gunarso memang sudah gundul plontos. Bahkan kepala ini jadi sebagian cirinya.
Pernah pada suatu ketika, kepala itu menjadi bentol mlepuh. Bukan karena benturan. Tapi karena terkena kena bara api rokok dji sam su. Itulah salah satu resiko kepala yang tidak ditumbuhi rambut. Kalau saja ada rambutnya, tentu bara rokok itu akan mengenai rambutnya dulu. Tapi karena kepala itu gundul, maka bara rokok itu langsung mengenai kulit kepala.
Kisah gundul ini ada pula yang berbeda. Saat melakukan peliputan off road di Yogyakarta, lintasan yang harus dilalui harus memasuki kawasan semak belukar. Sebagai kamera person, dia harus setia menunggu hingga kendaraan itu lewat. Namun opo nyono. Kendaraan yang ditunggu tak kunjung lewat karena merubah jalur lintasan. Dan yang terjadi. Saat Gunarso keluar dari semak-semak, kepala gundul itu sudah bentol-bentol diserang nyamuk.
Gunarso adalah sosok yang agaknya, passionnya memang menjadi kamera person. Dia cukup energik untuk pengambilan gambar-gambar dengan program single cam atau Elektronic News Gathering (ENG).
Sosoknya yang relatif tinggi untuk ukuran kamera person, dia bisa memiliki keleluasaan dalam mengambil gambar. Secara fisik juga mumpuni. Sehingga untuk program out door, dia punya kesukaan tersendiri. Sepertinya dia juga seolah pecinta alam.
Pada kisaran tahun 2005, kami menyatu dalam program Diplomat Challenge 2005. Kalimantan menjadi area program. Mulai dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan finish di Kalimantan Timur.
Ada banyak kisah yang terus tersimpan. Gunarso menjadi salah satu kamera person pilihan untuk program yang relatif membutuhkan fisik dan jam terbang lumayan tinggi. Masuk belantara hutan lebih dari satu minggu. Harus bisa survival di tengah hutan tanpa pelayanan siapa-siapa. Namun tetap harus mampu menyajikan visual yang menarik untuk tayangan program.
Sensitifitas terhadap peristiwa menarik juga cepat ditangkap. Tak perlu menunggu perintah, feelingnya sudah bisa jalan. Ini jelas memudahkan.
Ada saja kelakuannya yang membuat teman kesal. Pada sebuah peliputan off road di Danau Singkarak kami harus membuka tenda. Ada beberapa tenda yang harus didirikan. Gunarso tidak tampak saat kami sibuk mendirikan tenda. Namun saat tenda sudah berdiri rapi, tetiba dia muncul dan langsung masuk tenda lalu tidur.
Kami hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuannya. Tapi apa yang terjadi malam itu. Gunarso di tengah malam tiba-tiba berteriak-teriak mengigau. Nafasnya tersengal-sengal. Kami semua terperanjat. Setelah mulai reda, dia baru bicara.
“Sialan, gue ngimpi. Barang gue dicokot kuntilanak.”
Serempak kamipun berucap. “Rasaiiiinnn…”
Ada banyak cerita lain. Dua capture foto jepretan Iwan Pecun, yang tidak pernah kami lupa adalah saat kami berada di Jakatan Pari Kalimantan Tengah, sekitar 11 tahun yang lalu. Banyak masyarakat mengenalnya dengan Bukit Kancot, karena bukit itu kalau dilihat dari kejauhan memang seperti, maaf, kancut.Kami hendak mewawancara seorang off roader gaek dari Bandung. Haji Iro namanya. Namuan sebelum kami mewawancarainya, Haji Iro menawarkan sebuah minuman kaleng yang baru dikeluarkannya dari cool box. Dan tentu itu sangat luar biasa. Di tengah panas terik, kami bisa minum dingin.
Dan setiap kali menyaksikan foto-foto itu, gairah mudah kami serasa kembali. Namun kini rasanya sulit kami ulangi. Selain karena sudah jarang ada ‘orang gila’ yang mau bikin event segila itu, dan kami sudah tidak lagi seperti dulu.
Tapi setiap jejak muda itu selalu ingin diingat. Gunarso masih terus membidik kamera dan aku masih terus menyusun huruf demi huruf agar menjadi kata dan larik-larik kalimat.(*)