Gobel Tegas, Mendikbud tak Paham Kebutuhan Indonesia

Gobel Tegas, Mendikbud tak Paham Kebutuhan Indonesia

JAKARTA (28 September): Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang), Rachmad Gobel, mengeritik pernyataan Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim tentang keberadaan tim bayangan, yang kemudian disebut sebagai vendor, yang berjumlah 400 orang.

“Dengan berbagai langkah dan kebijakannya, yang kini ditambah dengan pengakuan tentang keberadaan tim bayangan ini, saya menilai sesungguhnya Mendikbud-Ristek tak paham kebutuhan negara, bangsa, dan rakyat Indonesia terhadap agenda dan tata kelola pendidikan di Indonesia,” kata Gobel, Rabu (28/9).

Nadiem menyampaikan tentang keberadaan tim di luar Kemendikbud-Ristek saat berbicara di United Nations Transforming Education Summit di Markas PBB di New York, Amerika Serikat. Video pernyataannya itu kemudian diunggah di akun instagramnya pada Rabu (21/9).

“Kami sekarang memiliki 400 manajer produk, insinyur perangkat lunak, ilmuwan data yang bekerja sebagai tim yang melekat untuk kementerian,” kata Nadiem, seperti dikutip media. Menurutnya, “Setiap product manager dan ketua tim posisinya hampir setara dengan direktur jenderal.”

Namun pernyataannya itu kemudian sedikit diralat saat rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pada Senin (26/9). “Mungkin ada sedikit kesalahan dalam menggunakan kata shadow organization,” kata Nadiem.

Menurutnya, yang ia maksud adalah organisasi dengan sifat mirroring. “Mirroring itu artinya setiap dirjen yang menyediakan layanan itu bisa menggunakan tim, suatu tim permanen yang selalu bekerja sama,” katanya.

Ia menambahkan, tim tersebut adalah vendor. Padahal saat di PBB, ia menjelaskan bahwa tim tersebut bukan vendor.

Sebelum munculnya kontroversi keberadaan tim bayangan atau vendor yang berjumlah 400 orang tersebut, Nadiem juga lebih sibuk membuat jargon-jargon seperti Kampus Merdeka atau Merdeka Belajar. Ia juga sibuk bongkar-pasang sistem dan kurikulum baru. Dia juga fokus pada digitalisasi pendidikan.

“Digitalisasi itu memang harus, tapi itu bukan yang utama. Digitalisasi ini masih menghadapi kendala jaringan, kemampuan memiliki gadget, dan juga keharusan skill up gurunya,” kata Gobel.

Legislator NasDem itu mengatakan, pendidikan Indonesia menyangkut jumlah murid sekitar 25 juta yang tersebar di lebih dari 200 ribu sekolah dan diampu oleh lebih dari 2,6 juta guru. Mereka tersebar di seluruh Indonesia dengan kondisi yang sangat beragam. Melalui bongkar-pasang sistem dan kurikulum juga membuat guru, murid, dan orangtua menjadi sibuk beradaptasi karena seringnya perubahan sistem dan kurikulum.

Padahal, kata Gobel, pendidikan selain fokus pada program jangka panjang juga harus relevan dengan kebutuhan jangka menengah dan jangka pendek.

“Karena itu pendidikan harus melihat pada kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal itu harus dilihat pada program di berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan,” tandasnya.

Sebagai contoh, Legislator NasDem dari Dapil Gorontalo itu mengemukakan bahwa kondisi global saat ini sedang dihadapkan pada tantangan ketersediaan pangan akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan juga geopolitik global.

Karena itu, pendidikan harus bisa mengantisipasi itu dalam pendidikan pertanian. Pada sisi lain, dunia pertanian Indonesia sedang dihadapkan pada menuanya usia petani dan kurang tertariknya generasi milenial untuk bertani.

“Jadi masalah ini bukan hanya menyangkut Kementerian Pertanian tapi juga apa solusi dari Kementerian Pendidikan. Jumlah penduduk Indonesia sangat besar, jangan sampai kita krisis pangan,” imbuhnya.

Lebih lanjut Gobel mengatakan, Indonesia harus masuk ke dalam teknik pertanian yang modern dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.

“Spirit ini yang harus muncul dalam pendidikan pertanian kita seperti di negara-negara maju seperti di Jepang, Eropa, Australia, Amerika, bahkan Tiongkok,” katanya.

Selain itu, kata Gobel, Indonesia sedang memasuki tahap industrialisasi. Karena itu, Kementerian Pendidikan juga harus berkoordinasi dengan menteri perindustrian, menteri ESDM, menteri tenaga kerja, dan seterusnya.

“Dialog dengan mereka. Apa kebutuhannya. Begitu cara kerja menteri pendidikan. Bukan sibuk membuat jargon dan bongkar-pasang sistem maupun kurikulum. Dunia pendidikan harus fokus ke era industri, yang sayangnya saya belum melihatnya dalam hampir tiga tahun ini,” ujarnya.

Hadirnya tim bayangan, kata Gobel, juga menunjukkan lemahnya Menteri Pendidikan dalam membangun sistem ke dalam, pembinaan sumberdaya manusia di tim internal, dan paling parah tak memahami tata kelola bernegara.

“Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang bisa membangun tim dan tim itu bisa berkelanjutan. Nah ini malah membentuk tim di luar. Terus setelah dia tak jadi menteri, bagaimana dengan kelanjutan programnya? Ini kan aneh,” katanya.

Gobel khawatir hadirnya bahasa vendor tersebut menjadi memberi kesan bahwa ini hanya soal proyek.

“Dana pendidikan itu sangat besar. Sesuai regulasi harus 20 persen dari APBN, sehingga anggaran pendidikan sangat besar. Pada 2020 bernilai Rp508 triliun, pada 2021 sebesar Rp550 triliun, pada 2022 menjadi Rp621 triliun, dan tahun 2023 nanti bisa lebih besar lagi. Bagaimana anggaran ini efektif bagi peningkatan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, kesejahteraan guru, serta ujungnya pada kualitas peserta didik. Menteri Pendidikan harus bisa mempertanggungjawabkan ratusan triliun anggaran pendidikan tersebut,” pungkasnya. (nasihin/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *