Kastanews.id, Jakarta (15/9) : Wakil Ketua DPR Kordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) , Rachmat Gobel, meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan moratorium terhadap aktivitas pinjaman online (pinjol). Hal ini seiring kian maraknya praktik ilegal yang sangat merugikan masyarakat.
“Tiap hari kita disodori berita yang menyedihkan dari masyarakat yang terbelit masalah akibat praktik tidak sehat dari pengelola pinjaman online. Bahkan ada yang bunuh diri karena tidak bisa membayar cicilan utang mereka yang membengkak secara luar biasa. Pinjam satu-dua juta, tapi pengambaliannya bisa membengkak sampai puluhan juta, ini kan tidak masuk akal. Untuk melindungi masyarakat, saya minta OJK melakukan moratorium. Stop dulu,” kata Rachmat Gobel , Rabu (15/9).
Gobel memaparkan, ide awal dari kelahiran pinjol ini adalah untuk meningkatkan inklusivitas sektor keuangan, namun dalam praktiknya terlihat ada ketidaksiapan dari berbagai lembaga terkait. Inilah yang kemudian membuat munculnya praktik tidak sehat, bahkan menjamurnya pengelola pinjol ilegal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Lebih lanjut, Gobel menjelaskan bagaimana masyarakat mau memakai jasa ini, rakyat kecil banyak yang terjerat pinjol, mereka teriming-imingi oleh kemudahan pinjol tapi kemudian tak mampu membayar karena bunganya yang berlipat. Padahal mereka umumnya rakyat kecil yang sedang kesusahan, seperti kemiskinan maupun kehilangan pekerjaan.
“Kalau praktik pinjol seperti ini maka mereka menjadi seperti rentenir,” kata Gobel.
Otoritas keuangan, menurut Gobel, perlu melakukan evaluasi serius terhadap keberadaan pinjol ini. Mereka perlu membuat pemetaan dari berbagai masalah yang muncul selama ini dan bagaimana mengatasinya. Termasuk bagaimana mengatasi perusahaan pinjol yang beroperasi dari luar negeri. Ini harus segera dilakukan agar situasi tidak semakin memburuk.
Menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penegakan hukum penanganan pinjol masih menghadapi banyak masalah, terutama yang ilegal. Mereka sulit untuk ditangani karena pemilik pinjol ilegal ini hanya 22% saja yang memiliki server di Indonesia. Sedangkan, 44% lainnya tidak terdeteksi dan sisanya berada di luar negeri.
Legislator Partai Nasdem ini menilai, maraknya pinjol ini juga harus menjadi indikator bagi otoritas keuangan untuk perlu instrospeksi bagi lembaga-lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan PNM. “Maraknya pinjol tidak terlepas ari ketidakmampuan bank, koperasi dan PNM menjangkau orang-orang yang sedang kesusahan tersebut,” katanya.
Karena itu, Gobel berpendapat, pemerintah dan otoritas keuangan segara memperkuat perbankan untuk rakyat kecil, koperasi, dan PNM.
“Berikan prosedur yang lebih mudah,” katanya.
Selain itu, katanya, juga memperkuat jejaringnya agar bisa menjangkau ke seluruh pelosok negeri.
Menurut survei Bank Indonesia (BI), pelaku usaha kecil yang sudah mendapat aliran kredit dari bank sebenarnya baru mencapai 30,5% dari total UMKM yang ada di dalam negeri. Sementara sisanya 69,5% belum mendapat akses kredit dari bank dan dari jumlah ini sekitar 43% dinilai sangat membutuhkan kredit dengan potensi bisa mencapai Rp 1.600 triliun.
“Jadi credit gap atau kesenjangan kredit masih tinggi, oleh karena itu tidak boleh menyalahkan masyarakat jika mereka tergiur dengan pinjol. Mereka sangat membutuhkan pembiyaan, tapi bank, koperasi dan PMN tidak mampu melayani kebutuhan itu. Kondisi inilah yang harus dibehani,” kata Gobel.
Dari sisi regulasi, menurut Rachmat, perlindungan terhadap masyarakat belum kuat karena kehadiran perusahaan pinjol baru diatur berdasarkan Peraturan OJK No 77 Tahun 2016. Selain itu, sampai saat ini UU Perlindungan Data Pribadi belum juga bisa disahkan karena pemerintah tidak setuju dibentuknya lembaga pengawas yang bersifat independen.
Terkait dengan aktivitas keuangan digital seperti pinjol, Indonesia membutuhkan UU Financial Technology (Fintech) dan UU Perlindungan Data Pribadi. Namun sampai saat ini UU Fintech masih menjadi wacana, sementara untuk pembahasan UU Perlindungan Data Pribadi terganjal sikap pemerintah.(rls/*)