Evaluasi Kemitraan demi Sawit Berkeadilan

Evaluasi Kemitraan demi Sawit Berkeadilan

Oleh; Nurhadi Fatkurohman*

PADA penghujung Kuartal 2 (Q2) ini kita dikagetkan dengan fenomena anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit di tengah masih tingginya harga minyak goreng (migor) secara umum di dunia. Sebelumnya masyarakat Indonesia dikagetkan dengan dua fenomena “ajaib” secara berbarengan, yakni kenaikan harga minyak goreng sekaligus kelangkaan minyak goreng.

Kini giliran petani sawit terkena imbas buruknya tata kelola persawitan di Indonesia. Padahal sawit adalah salah satu produk yang menjadi Competitive Advantage (keunggulan bersaing) dari Indonesia. Bersama Malaysia, Indonesia menjadi aktor yang memonopoli produk sawit dan turunannya di dunia.

Persoalan kelangkaan minyak goreng harus diatasi, mulai dari penimbunnya ditemukan, perusahaan pengekspor ilegal dipegang, pemberi izin/akses ke pejabat kementerian ditangkap, hingga menterinya diganti (bahkan baru saja diperiksa oleh Kejaksaan Agung).

Berbeda halnya dengan persoalan harga minyak goreng dan harga tandan buah segar yang masih saja kacau dan tidak singkron dengan kaidah ekonomi.

Hipotesis sementara kajian singkat ini perlu untuk diteruskan menjadi proposal riset yang lebih matang dan diuji dengan teori dan temuan empirik. Kajian ini berangkat dari asumsi, kemitraan cukup baik untuk membuka lapangan pekerjaan, memenuhi kebutuhan permintaan domestik dan internasional, akan tetapi bisa gagal menjamin kesejahteraan pekerja yang berstatus sebagai mitra-bukan pegawai perusahaan.

 

Anjloknya Harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit

Fenomena terbaru anjloknya harga TBS Sawit. Menurut data yang dikutip dari Berita online Tempo, “sepanjang pekan ini, harga CPO melorot hingga 7,87 persen dan drop 13,48 persen secara bulanan. Padahal sebelumnya CPO merupakan salah satu komoditas penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.”

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Riau Defris Hatmaja mengatakan, “Penurunan harga terbesar terjadi pada kelompok umur 10-20 tahun sebesar Rp 299,71 per kilogram atau mencapai 10,99 persen dari harga minggu lalu. Sehingga harga pembelian TBS petani untuk periode satu minggu ke depan turun menjadi Rp 2.426,99 per kilogram,”

Hal ini disebabkan rendahnya penyerapan sawit oleh perusahaan-perusahaan kemitraan yang mengolah sawit. Ini mengindikasikan adanya permainan harga yang terjadi untuk memaksimalkan profit dengan membeli bahan baku secara murah dan menjual produk olahannya dengan harga tinggi dengan alasan kelesuan ekonomi dunia akibat pembatasan kegiatan selama Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Padahal Indonesia masih menjadi pasar terbesar untuk produk sawit di dalam negerinya sendiri.

Indonesia juga sebenarnya tidak terkena imbas secara langsung krisis ekonomi atau kelesuan ekonomi yang terjadi akibat Covid 19 dan perang Rusia-Ukraina. Ini bisa dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih didominasi Konsumsi Domestik dan disusul Belanja Pemerintah.

Fakta itu berarti lebih dari setengah PDB Indonesia ditopang oleh Pasar Domestik, sehingga perang, covid atau alasan apapun yang menyebabkan pengurangan ekspor atau impor dari dan ke Indonesia seharusnya tidak berpengaruh pada kenaikan harga minyak goreng dan derivatifnya. Hal ini karena pasar utamanya produk-produk dari Indonesia masihlah pasar dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), PDB pengeluaran konsumsi rumah tangga mencapai Rp2,42 kuadriliun pada kuartal I 2022. Nilai tersebut porsinya mencapai 53,65% dari PDB nasional kuartal I 2022 yang berjumlah Rp4,51 kuadriliun. Konsumsi masyarakat tercatat tumbuh 4,34% pada kuartal I 2022 dibandingkan kuartal pertama tahun sebelumnya (year on year/yoy) (Katadata, 2022).

Hal ini jugalah yang menyebabkan Indonesia terbilang imun atas dua krisis terakhir di Amerika dan Eropa setelah Krisis Moneter 1997-98.

 

Masalah Utama: Masalah Kemitraan

Di Indonesia, ada beberapa konsep dan pola kemitraan yang ada dan bisa berbeda satu sama lainya bergantung pada jenis garapannya. Baik di perkebunan maupun peternakan. Kita mengenal berbagai istilah kemitraan, tapi fokus utama kita hanya di perkebunan sawit.

Pola-pola dan konsep-konsep kemitraan antara satu perusahan dengan warga bisa saja berbeda-beda. Hal-hal yang mempengaruhi konsep dan pola kemitraan diantaranya adalah jenis komoditas yang digarap, bentuk permintaan konsumen dari komoditas yang sedang digarap, serta pangsa pasar atau jenis konsumen dari komoditas yang digarap (Kurnianti, 2013).

Secara garis besar, di Indonesia terdapat lima pola kemitraan, yaitu Pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat), Pola Subkontrak, Pola Kemitraan Perdagangan Umum, Pola Kemitraan Keagenan, dan Pola KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota). Kemitraan ini merupakan upaya untuk menyejahterakan petani. Akan tetapi, dari kelima model jenis kemitraan itu melepaskan tanggung jawab perusahaan terhadap mitra-mitra tersebut di saat harga anjlok atapun persoalan hak-hak pekerja pada umumnya. Hal ini terjadi karena sistem kemitraan ini tidak menganggap petani mitra sebagai buruh atau pekerja yang terikat dengan perusahaan dan dilindungi hak-haknya oleh UU Ketenagakerjaan.

Kasus yang seringkali terjadi pada model kemitraan ini adalah petani menggadaikan tanah miliknya kepada perusahaan untuk modal awal pembibitan dan perawatan. Seringkali petani tadi justru harus kehilangan lahannya karena harga jual menurun sehingga lahan yang digadaikan tadi harus beralih kepada perusahaan. Hal ini justru menurunkan kesejahteraan petani dari yang sebelumnya pemilik lahan dan kemudian hanya menjadi buruh di perusahaan yang sebelumnya bermitra.

 

Mencari Solusi Jangka Panjang Kemitraan

Pemerintah tidak bisa melindungi petani-petani sawit dengan menetapkan batas bawah harga TBS. Pemerintah juga belum bisa membeli atau menampung TBS petani sawit dengan menggunakan BULOG. Hipotesis sementara masih adanya pengaruh-pengaruh oligarki pengusaha sawit yang memengaruhi tata kelola persawitan di Indonesia.

Justru saran yang paling efektif dari pemerintah sangat bercorak atau berparadigma LSM, Pemberdayaan Masyarakat.

“Petani harus membentuk lembaga atau kelompok seperti koperasi unit desa, kelompok tani, atau gabungan kelompok tani agar mendapatkan harga jual sawit yang lebih tinggi dan berkeadilan,” begitu ujar Defris pada bulan Februari 2022 yang lalu.

Selain penentuan harga batas bawah, penguatan fungsi BULOG dan juga pembentukan kelompok-kelompok tani, pemerintah juga perlu mengatur dan mengevaluasi sistem kemitraan petani sawit dan perusahaan perkebunan sawit agar janji-janji manis kemitraan untuk mengonversi lahan yang sebelumnya bukan sawit menjadi sawit bisa benar-benar menyejahterakan. Bukan hanya sekedar mengeluarkan jargon “Sawit Berkeadilan” di media sosial dengan mendayagunakan tenaga “Buzzer”.(*)

* Nurhadi Fatkurohman; Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis;  Universitas Paramadina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *