Korban meninggal akibat terlalu lelah menjaga kotak suara pada pemilu 2019 kali ini terus bertambah. Data terakhir disebutkan sudah mencapai 558 korban meninggal. Angka yang sangat fantastis untuk ukuran pemilu yang disebut damai.
Banyaknya korban meninggal pada pemilu 2019 ini suka tidak suka bisa disebut sebagai ‘pemilu yang membunuh’.
Bahkan sesungguhnya, bukan hanya membunuh dalam arti mematikan atau menelan banyak korban nyawa, tetapi pemilu kali ini juga banyak membunuh akal sehat.
Coba cermati para pemilihan presiden. Hingga tulisan ini turunkan, sudah berapa kali capres Prabowo melakukan sujud syukur. Tidak berhenti sampai di situ. Klaim kemenangan bahkan terus digaungkan. Bahkan ada semacam instruksi agar kemenangan itu dilakukan di kantung-kantung suara pasangan 02.
Tindakan ini tak ubahnya seperti membunuh akal sehat. Bukankah lembaga yang sah dan diakui undang-undang dan diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah menghitung perolehan suara. Artinya, siapa pemenangnya belum ditetapkan oleh lembaga yang sah, tetapi kemenangan sudah dikumandangkan.
Sikap seperti ini bahkan masih diikuti pendukungnya yang tidak habis-habisnya dan gak ada bosen-bosennya untuk menyatakan kemenangan. Padahal mereka tahu, KPU masih sedang bekerja dengan menghitung suara.
Kalaupun tidak ingin melihat hasil quick count yang memperlihatkan angka-angka kemenangan pada pasangan 01, mbok yao mau melihat hasil hitungan yang sedang dilakukan KPU.
Bagi mereka yang percaya kebenran akan ilmu pengetahuan, pendukung pasangan 02 tentu sudah bisa lega hati dan menerima apa yang nyatakan lembaga quick count. Tapi yang tidak mau peduli dengan kebenaran ilmu pengetahuan, masih saja ngeyel dan merasa menang meski angkanya tidak lebih tinggi dari pasangan 01. Bebalnya pemahaman ini jelas telah membunuh akal sehat juga.
Pembunuhan lain yang terjadi salah satunya juga banyaknya pertemanan yang mati terbunuh karena beda pilihan capres. Pertemanan di facebook di unfreind. Keluar dari whatsapp group. Tidak lagi mau bertegur sapa. Pembunuhan silahturahim terjadi di mana-mana. Menyedihkan.
Itu urusan capres-capresan. Belum lagi urusan caleg-calegan.
Untuk memperebutkan kursi legislatif, ada berapa banyak caleg yang terbunuh nalarnya. Tidak peduli berapa dalam isi kantong dikeluarkan untuk meraih kursi. Padahal gaji dan berbagai fasilitas kalaupun jadi anggota dewan jelas-jelas tidak akan ‘nutupin’ biaya pencalegan, namun tetap saja dilakukan. Uang sudah lenyap kursipun tak dapat.
Tentunya banyak ‘pembunuhan-pembunuhan’ lain akibat pemilu kali ini. Bisa jadi ada pasangan suami istri yang bercerai karena beda pilihan. Ini membunuh perkawinan. Ada karyawan yang hilang pekerjaan setelah nyaleg, karena kursi tak dapat pekerjaan sudah melayang. Ini pembunuhan pekerjaan. Atau malah, ada yang benar-benar bunuh diri karena gagal nyaleg dan tahu hutang-hutang untuk kampanye tidak bisa terbayar.
Pendek kata, pemilu 2019 ini rasanya benar benar menjadi pemilu yang membunuh, maka itu tidak boleh diulang kembali. Harus ada perubahan yang signifikan agar yang disebut pemilu damai benar benar damai. Bukan tampak damai tapi terjadi banyak ‘pembunuhan’ (redaksi)