Kastanews.id, Jakarta (15/9) : Bank Indonesia (BI) merilis laporan Utang Luar Negeri (ULN) per Juli 2021 sebesar USD 415,7 miliar.
Hal ini dinilai mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen (yoy) yang dilihat lebih rendah dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 2,0 persen (yoy).
“Posisi ULN Indonesia pada akhir Juli 2021 tercatat sebesar USD415,7 miliar atau tumbuh 1,7 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya,” ujar Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, Rabu (15/9).
Erwin menyatakan, perkembangan disebabkan adanya perlambatan pertumbuhan ULN Pemerintah. Ini setelah ULN Pemerintah tumbuh lebih rendah dibandingkan bulan lalu.
“Posisi ULN Pemerintah di bulan Juli 2021 mencapai USD205,9 miliar atau tumbuh 3,5 persen (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan Juni 2021 sebesar 4,3 persen (yoy),” tambah Erwin.
Ia menjelaskan, posisi ULN Pemerintah tersebut dinilai aman karena hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN Pemerintah.
ULN Pemerintah, kata Erwin, tumbuh pada bulan Juni lalu akibat penurunan posisi Surat Berharga Negara (SBN) domestik dan pembayaran neto pinjaman bilateral, di tengah penarikan pinjaman luar negeri untuk mendukung penanganan dampak pandemi Covid-19, dengan tetap menjaga kredibilitas Pemerintah dalam pengelolaan ULN melalui pelunasan pokok pinjaman yang jatuh tempo.
Disisi lainnya, Pemerintah juga menerbitkan SBN dalam dua mata uang asing (dual-currency) yaitu dolar AS dan Euro pada bulan Juli 2021 untuk memenuhi pembiayaan APBN secara umum, termasuk untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Penerbitan SBN valuta asing tersebut memanfaatkan momentum sentimen positif investor yang kuat dan kondusifnya pasar keuangan AS.
Rinciannya antara lain mencakup sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (17,8 persen dari total ULN Pemerintah), sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (17,2 persen), sektor jasa pendidikan (16,4 persen), sektor konstruksi (15,4 persen), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (12,6 persen). (Rian)