JAKARTA (Kastanews.com)- Ketua Panja RUU Pendidikan Kedokteran, Willy Aditya, pada 6 September 2022 mengirim surat terbuka kepada Presiden Jokowi.
Dia menyampaikan bahwa telah terjadi tindak pelecehan terhadap dua Lembaga Tinggi Negara, yaitu Lembaga Kepresidenan dan DPR oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Makarim.
Willy menjelaskan, sejak September 2021, RUU tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok) sudah disahkan dalam rapat paripurna DPR menjadi RUU hak inisiatif DPR. Presiden pun sudah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR dengan nomor surat R-55/Pres/12/2021 per tanggal 2 Desember 2021 sebagai persetujuan untuk membahas RUU tersebut.
Dalam surat yang bersifat segera tersebut, Presiden telah menugaskan Menteri Nadiem Makarim bersama sejumlah menteri lainnya untuk mewakili pemerintah membahas RUU Dikdok.
Badan Legislasi sebagai alat kelengkapan Dewan yang ditunjuk untuk membahas RUU Dikdok bersama pemerintah, tulis Wily dalam suratnya, telah mengadakan rapat kerja dengan Mendikbud-Ristek serta menteri terkait lainnya pada 14 Februari 2022.
Dalam rapat tersebut, DPR secara resmi meminta kepada Mendikbud-Ristek untuk menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Dikdok sebagai kelengkapan dari Surat Presiden yang telah dikirimkan dan sebagai bagian dari proses pembahasan RUU sebagaimana diperintahkan Pasal 49 ayat (2) UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 tahun 2011 tentang PPP.
Sebagaimana diperintahkan Pasal 49 Ayat 2 tersebut, tulis Willy yang juga Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI itu, disebutkan bahwa “Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU disertai dengan Daftar Inventarisasi Masalah bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak Surpres diterima pimpinan DPR”, maka penyertaan DIM dalam Surpres yang telah dilayangkan kepada DPR adalah amanat/perintah UU.
Namun demikian, tegas Willy Aditya dalam suratnya itu, setelah lebih dari 60 hari sejak Surpres diterima DPR, dan saat Rapat Kerja tanggal 14 Februari 2022, DIM tersebut belum juga diterima, bahkan ketika “usia” Surpres sudah lebih dari sembilan bulan.
Selain rapat kerja tersebut, Pimpinan Badan Legislasi telah beberapa kali mengadakan pertemuan informal dengan Mendikbud-Ristek dan Menteri Kesehatan terkait penyerahan DIM tersebut. Mendikbud-Ristek berjanji dan meminta waktu hingga akhir Juni 2022 untuk memberikan DIM yang dimaksud.
Namun, hingga September 2022 ini, tidak ada kabar terkait DIM yang dijanjikan tersebut. ‘’Bagi kami, hal ini merupakan pengabaian atas amanat/perintah UU sekaligus merupakan bentuk pelecehan kelembagaan, baik terhadap lembaga DPR maupun Lembaga Kepresidenan,’’ tulis Willy Aditya dalam suratnya kepada Presiden Jokowi itu.
Dalam surat itu, Willy juga menyatakan sebagai anggota partai maupun sebagai pribadi, ia ingat betul akan program Nawacita yang diusung Presiden Jokowi. Pada poin kedua disebutkan, “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.” Selain itu, pada poin ke enam disebutkan ingin “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia”.
RUU tentang Dikdok adalah RUU yang selaras dengan kehendak dan semangat dua poin Nawacita di atas. RUU tentang Dikdok berkehendak membangun paradigma kesehatan yang terakses, terjangkau, dan memanusiakan manusia.
Terakses, tulis Legislator NasDem itu, artinya mudah didapatkan, meski itu di daerah-daerah yang paling pinggir di wilayah Tanah Air kita. Kesehatan bukan lagi barang langka dan mahal hingga fenomena Dokter Lie Dharmawan dengan Rumah Sakit Apung-nya harus kita saksikan di tengah segala kemegahan rumah sakit di kota-kota besar.
Terjangkau artinya kesehatan menjadi sesuatu yang bisa diraih oleh siapa pun tanpa memandang dia berduit atau tidak. Kesehatan di sini bukan hanya dalam soal pelayanan, akan tetapi juga bagaimana kesediaan tenaga kesehatan atau tenaga medis bisa dipenuhi dengan mudah.
Sekolah-sekolah kesehatan dan utamanya kedokteran, tulis Willy lagi, juga bisa kita sediakan meski itu di daerah-daerah paling pinggir sekalipun. Maksud dari kehendak ini adalah agar pemerataan tenaga medis, khususnya dokter dan dokter gigi bisa terwujud sesuai dengan visi Bapak Presiden.
Sedangkan memanusiakan manusia artinya sistem kesehatan kita benar-benar memperlakukan manusia sebagaimana mestinya. Manusia dengan kondisi sakitnya bukanlah komoditas. Manusia dengan hasrat ingin sehatnya bukanlah peluang bisnis.
Kita ingin membangun kesehatan karena semua manusia memang membutuhkan hal itu; karena bangsa ini harus sehat; karena kualitas hidup manusia Indonesia harus meningkat dan menjadi SDM yang unggul.
Mahasiswa kedokteran di Indonesia, tulis Willy dalam surat terbuka itu, tidak terbebani dengan tingginya biaya pendidikan, yang kita ketahui bersama saat ini biaya pendidikan kedokteran sangat tinggi. Putra-putri terbaik dari daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang berkualitas dan unggul dari sisi akademik layak untuk menjadi dokter dan mengabdi di daerah asalnya tanpa perlu pesimis dan merasa “gagal di awal” karena membayangkan besarnya biaya untuk menjadi dokter.
Paradigma yang ada di masyarakat selain pendidikan kedokteran itu mahal, tulis Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu, juga lama kuliahnya dan sulit untuk lulus. Hal itu karena adanya mekanisme Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang bersifat ujian nasional sebagai satu-satunya syarat kelulusan (final exam) bagi mahasiswa kedokteran.
Padahal, mereka telah menyelesaikan seluruh tahapan pembelajaran dan perkuliahan dan telah menyelesaikan ujian tulis dan ujian praktik (ujian co-ass) di fakultasnya. Biaya untuk mengikuti UKMPPD itu tidaklah murah, selain itu bagi mahasiswa yang belum lulus, tetap harus membayar biaya uang semester yang cukup besar di universitasnya, meskipun sudah tidak ada lagi kegiatan pendidikan di kampusnya. Hanya karena jika tidak membayar uang semester, maka mahasiswa tersebut akan dicabut statusnya sebagai mahasiswa dan tidak dapat mengikuti UKMPPD.
Menurut Willy dalam suratnya, UKMPPD sebagai exit exam itu hanya ada di Indonesia. Tidak ada negara di dunia ini yang menyelenggarakan ujian nasional kelulusan bagi mahasiswa kedokteran. Sekaligus UKMPPD merupakan bentuk ketidakpercayaan pemerintah kepada fakultas kedokteran dan akreditasi perguruan tinggi yang telah dilakukan pemerintah, sebagaimana diatur dalam UU Pendidikan Tinggi bahwa merupakan otonomi akademik dari perguruan tinggi dalam hal menetapkan syarat kelulusan, menentukan kelulusan mahasiswa, memberikan ijazah dan gelar, dan mewisuda lulusannya.
Willy mengakui bahwa itu bukanlah pekerjaan mudah. Banyak kepentingan yang berupaya untuk mempertahankan sistem kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran yang ada saat ini. Namun demikian, langkah awal harus segera dimulai, sebagaimana berbagai langkah yang telah dimulai oleh Presiden dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Sudah terlalu sering kita mendengar bagaimana di wilayah pedalaman yang tidak ada tenaga kesehatan sama sekali. Sudah lama Puskesmas menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki dokter spesialis, bahkan dokter umum sekalipun. Kelebihan RUU Dikdok ini dibandingkan dengan UU Pendidikan Kedokteran yang saat ini berlaku, selain ingin mewujudkan pendidikan kedokteran yang terjangkau dan berkualitas, juga mengatur beberapa terobosan dan langkah perbaikan terkait pendidikan dokter spesialis dan dokter subspesialis yang menjadi profesi “mewah” bagi masyarakat Indonesia, sekaligus mengatur rekrutmen dan pemerataan distribusi tenaga medis yang paling dibutuhkan oleh bangsa ini.
Materi dalam RUU Dikdok bisa jadi banyak yang perlu dikoreksi atau masih jauh dari sempurna. Namun demikian, itikad untuk memperbaiki dan memajukan bangsa dan negara ini telah sempurna adanya. “Kami berharap, segala itikad mulia ini tidak menjadi mentah hanya karena tidak terpenuhinya sebuah fatsun politik dari pembantu Presiden atas kewajiban membuat dan menyerahkan DIM RUU Dikdok sebagaimana perintah UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (rah)