JAKARTA (Kastanews.com): Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya, menerima lapangan Mahasiswa Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang di Ruang Rapat Baleg, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/10).
Dalam pertemuan itu, Willy dan para mahasiswa HTN berdiskusi berbagai masalah ketatanegaraan, termasuk mekanisme pembuatan peraturan, hingga kewenangan pembuatan UU di Tanah Air.
Willy menegaskan pembentukan suatu UU harus berdasarkan pendekatan ilmiah (scientific approach). Selain itu, ia mengajak semua pihak keluar dari jebakan populisme dalam pembentukan UU.
“UU itu harus berdasar pada scientific approach. Kita perlu keluar dari jebakan yang namanya populisme. Seolah menurut orang banyak itu yang benar, padahal belum tentu. UU kita ini, kan, baru diketok di DPR, belum dinomorkan, sudah digugat ke MK,” ujar Willy.
Legislator Partai NasDem ini menjelaskan, pembentukan UU di Indonesia tidak dapat dilakukan DPR sendiri. Seluruh UU yang disahkan harus melalui persetujuan presiden.
“Sejak republik ini memiliki sistem presidensial, tidak ada satu pun UU yang lahir tanpa persetujuan presiden. Di Indonesia usulan UU itu dari tiga institusi, DPR RI, pemerintah, dan DPD RI. Tapi kalau presidennya tidak mau, ya tidak bisa,” tegas Willy.
Wakil Ketua Fraksi NasDem di DPR RI itu juga menekankan, negara demokrasi seperti Indonesia harus membuka secara luas akses publik atas pejabatnya, termasuk dalam pembuatan peraturan. Ia mencontohkan, di Bundestag (DPR Jerman) semua rapat dapat diakses masyarakat luas, termasuk seluruh data di dalamnya.
“Kalau di kita belum sepenuhnya. Kadang masih ada yang ditutupi. Masyarakat mau akses dokumen susah. Padahal kita ada UU Keterbukaan Informasi Publik. Di depan kepala daerah, anggota DPR, bilang prorakyat, di belakang kita tidak tahu,” tandasnya.
Willy mendorong agar kampus tidak terjebak dalam birokrasi yang ruwet. Kampus harus menjadi ladang ilmu pengetahuan serta tempat riset yang bermanfaat bagi negara.
Ia juga mendorong agar penelitian yang dilakukan mahasiswa tidak lagi perorangan, namun secara kolektif. Willy tidak ingin, skripsi yang dibuat tidak aplikatif dan hanya sebagai penggugur kewajiban kelulusan.
“Yang hadir di sini 50 mahasiswa, kalau respondennya masing-masing 20, bisa 1.000 kan. Nah, hasil penelitiannya, kalian ajukan, bergetar itu Medan Merdeka kalau kalian berikan proposal yang scientific,” imbuhnya.
Legislator dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu juga mendorong Fakultas Hukum agar mahasiswanya magang di lembaga-lembaga hukum.
“Satu Polsek itu belum tentu ada sarjana hukumnya. Bayangkan, orang yang tidak belajar hukum, tapi bertindak atas nama hukum, atas nama KUHP. Coba bayangkan? Jadi doronglah mahasiswa-mahasiswa hukum ini magang di Polsek,” tukasnya.(rls/fnd/*)