JAKARTA (Kastanews.com): Salah satu isu krusial dalam pembahasan revisi UU No. 31/2014 tentang Pelindungan Saksi dan Korban ialah penguatan perspektif korban dalam sistem hukum dan peradilan di Indonesia. Selama ini, saksi dan korban lebih sering diposisikan sama seperti alat bukti. Kenyataan itu pada gilirannya kerap membuat saksi dan korban tidak mampu menjadi kunci bagi terbangunnya keadilan hukum di Tanah Air.
Hal itu terjadi karena rasa kurang dalam sebuah perkara, sehingga korban dan saksi kerap tak mampu menyampaikan apa yang sesungguhnya terjadi dalam sebuah perkara.
“Salah satu kuncinya ada di pembahasan RUU KUHAP saat ini. Masalahnya, revisi UU tersebut seperti tidak mengakomodir perspektif ini,” ungkap Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati saat melakukan audiensi dengan Ketua Komisi XIII Willy Aditya di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Terkait hal itu, lanjutnya, posisi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem peradilan di Indonesia. Namun di situlah tantangannya, apakah para perumus kebijakan dan segenap stakeholder sistem hukum di Indonesia memiliki paradigma yang sama terkait posisi saksi dan korban.
Dalam menanggapi hal tersebut, Willy menyatakan paradigma terhadap korban sudah semestinya berubah. Sistem hukum nasional sudah semestinya mengafirmasi posisi korban dan saksi ke posisi yang lebih krusial bagi terbangunnya keadilan dalam kehidupan sosial.
“Tidak hanya itu, dengan cara pandang semacam itu, kita juga menempatkan para saksi dan korban ke martabat yang lebih tinggi. Rasanya, sebagai sesama manusia kita mesti memiliki kesadaran bahwa paradigma semacam ini adalah bagian dari pemenuhan fundamental right atau hak asasi manusia,” ungkap Willy dalam keterangannya, Kamis (16/10/2025).
Lebih jauh, Willy mengaitkan isu ini dengan Hasta Cita Pemerintahan Prabowo dan menempatkannya sebagai prioritas utama, yakni memperkokoh ideologi Pancasila, negara hukum, serta hak asasi manusia.
“Oleh karena itu, kita ingin menjadikan isu perlindungan saksi dan korban ini sebagai sesuatu yang fundamental dan integral dari sistem peradilan pidana kita. Ini kuncinya!” tandasnya.
Willy melihat, selama ini keadilan kita masih retributif, di mana fokus hukum berada pada pelaku. Paradigma korban mengajak sistem hukum untuk juga melakukan restorative justice, di mana ada keberpihakan kepada korban dalam sistem peradilan kita.
“Jadi hukum juga berpihak kepada korban. Ia tidak hanya menghukum pelaku tapi juga memulihkan hak-hak korban,” tukasnya.
Dengan cara pandang demikian hukum menjadi tidak hanya menaruh perhatian pada aparat penegak hukum belaka tetapi juga memperhatikan mereka yang menjadi korban.
“Di sini nanti posisi LPSK menjadi relevan adanya. Dengan keberadaannya ini nanti akan melengkapi lanskap kita sebagai negara hukum,” jelasnya.
Oleh karena itu, kini DPR tengah mengembangkan apa yang disebut meaningfull participation. Ia tidak lagi bertumpu pada sosialisasi. Dengan konsep tersebut Willy berkomitmen untuk membuka seluas mungkin ruang dialog dan komunikasi dalam pembahasan UU.
Terhadap LPSK, Willy bahkan mendorong agar lembaga tersebut mengajak beberapa pesohor menjadi duta saksi dan korban. Hal ini bertujuan untuk membuka cakrawala berpikir publik sekaligus mengajak publik untuk terlibat. Dengan demikian, terwujud kolaborasi antara lembaga dengan publik secara umum. Saat kolaborasi terjadi, saksi maupun korban diharapkan memiliki kepercayaan diri lebih. Di sisi yang lain LPSK sebagai lembaga pun akan terasa eksistensinya.
Oleh karena itu, dalam rencana revisi atas UU Pelindungan Saksi dan Korban ini Willy selalu mengajak semua pemangku kepentingan untuk terlibat secara aktif dan tidak terjebak pada logika advokasi. Baginya, logika tersebut selama ini telah membuat jarak di antara pihak-pihak terkait. Logika semacam ini pula yang kerap membuat para stake holder sering saling curiga satu sama lain.
“Karena itulah saya selalu membuka diri untuk berdialog, berkolaborasi, bergandengan tangan dalam membahas produk perundangan. Supaya apa? Supaya ini menjadi produk kita bersama yang bisa kita pertanggungjawabkan bersama serta manfaat dan kredibilitasnya juga bisa kita rasakan bersama pula,” pungkasnya. (pik/*)