JAKARTA (Kastanews.com)- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya menjelaskan urgensi kehadiran UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) bertujuan sebagai payung hukum untuk melindungi pekerja rumah tangga (PRT) dari eksploitasi, diskriminasi, penindasan, dan ketidakadilan.
Untuk itu, Legislator NasDem tersebut mendorong agar RUU PPRT bisa segera diagendakan di Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Ketua Panja RUU PPRT itu menjelaskan, selama ini pekerja di ranah sosial dan domestik tidak pernah mendapatkan statusnya, hanya diatur keberadaannya di level Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker).
“Artinya pekerja rumah tangga membantu kesuksesan dan keberlangsungan proses produksi bagi pemberi kerja. Tidak ada karir majikan sukses tanpa ada peran pekerja rumah tangga,” kata Willy dalam keterangannya, Kamis (3/11).
Maka dari itu, lanjut Willy, pengesahan RUU PPRT menjadi UU sangat urgen karena PRT adalah orang yang berkontribusi pada proses produksi dalam sebuah rumah tangga pemberi kerja.
Menurut dia, RUU PPRT sangat penting karena UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengatur terkait PRT dan yang mendapatkan hak hanya pekerja di sektor formal.
Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu mengatakan dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja yang mendapatkan hak dan perlindungan adalah yang bekerja di sektor formal. Sedangkan PRT bekerja di sektor informal dan belum ada payung hukum setingkat undang-undang untuk melindunginya.
“Karena itu perlu diatur tersendiri, posisinya memberikan perlindungan bagi warga negara. Perbedaan pekerja formal dengan ‘domestic labour’ adalah fleksibilitas terkait jam kerja, jenis kerja, hubungan kerja, dan upah kerja,” kata Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR itu.
Selain itu, Willy juga menegaskan bahwa RUU PPRT sudah disusun sejak lama dengan melibatkan banyak pihak antara lain sosiolog, ahli hukum, dan aktivis buruh. Ia menjelaskan, fleksibilitas menjadi kekuatan bagi PRT karena tidak terserap di lapangan kerja formal.
Lebih lanjut menurut Willy, dalam RUU PPRT terdiri dari dua klaster. Pertama PRT yang direkrut berdasarkan asas kekeluargaan yaitu tanpa jasa penyalur sehingga basisnya adalah sosiokultural. Kedua, rekrutmen PRT melalui penyalur dengan disertakan kontrak kerja yang dijelaskan secara rinci, dan sudah diatur dalam RUU PPRT agar tidak terjadi perdagangan orang.
“Tidak boleh penyalur PRT berbentuk yayasan, namun harus berbadan hukum dan izinnya diterbitkan pemerintah kabupaten/kota agar pengawasannya lebih rinci. Selama ini izin diterbitkan pemerintah provinsi,” ujarnya. (dpr.go.id/*)