Tunda Kenaikan Pajak E-commerce, Bidik Pengemplang Pajak Rp60 Triliun

Tunda Kenaikan Pajak E-commerce, Bidik Pengemplang Pajak Rp60 Triliun

JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memilih mengejar pengemplang pajak besar, daripada memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5% bagi pedagang online di platform e-commerce.

Setidaknya ada 3 alasan yang membuat Menkeu Purbaya menunda kebijakan yang seharusnya berlaku pada 14 Juli 2025.

Sementara itu Purbaya memilih mengejar para pengemplang pajak dengan total kewajiban mencapai Rp60 triliun. Ia menyatakan, dana tersebut akan dipaksa masuk ke kas negara dalam waktu satu minggu.

Dalam upaya memperkuat pengawasan, Purbaya berencana membuka kanal khusus pengaduan bagi masyarakat yang mengalami masalah terkait pungutan pajak. Sebelumnya dalam Konferensi Pers APBN Kita di Kementerian Keuangan, Senin (22/9), Purbaya mengungkapkan daftar sekitar 200 penunggak pajak besar dengan total tunggakan Rp50-Rp60 triliun.

Menkeu Purbaya lebih memilik mengejar para pengemplang pajak besar, dan menunda kenaikan pajak e-commerce.

Berikut 3 alasan Menkeu Purbaya tunda pungutan pajak pedagang online:

1. Penolakan Pelaku E-Commerce

Purbaya melihat masih adanya gelombang penolakan terhadap aturan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dengan tarif 0,5%.

Lantaran hal itu Menkeu memilih waktu yang lebih tepat sebelum menjalankan kebijakan tersebut. “Ini kan baru ribut-ribut kemarin nih. Kita tunggu dulu deh,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, Jumat (26/9).

Para pedagang online mengaku khawatir kebijakan ini bakal menambah beban usaha mereka. Dimana banyak di antara mereka sudah terbebani oleh potongan dari platform, sementara keuntungan terus menyusut di tengah lesunya daya beli masyarakat.

Sebelumnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan, maksud dari kebijakan baru itu yakni pajak tidak lagi harus dibayarkan langsung oleh pedagang online, melainkan akan dipotong otomatis oleh platform tempat mereka berjualan.

Dipastikan juga oleh DJP bahwa pedagang orang pribadi dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta, tetap dikecualikan dari pungutan ini.

2. Menunggu Dampak Penempatan Dana Rp200 Triliun ke Himbara

Sebelum menjalankan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% kepada pedagang online, Menkeu Purbaya menekankan, pemerintah lebih fokus kepada dampak dari kebijakan penempatan dana saldo anggaran awal (SAL) sebesar Rp200 triliun ke bank himbara.

Dana SAL itu sebelumnya parkir di Bank Indonesia (BI), untuk kemudian dialihkan kepada perbankan pelat merah dengan harapan bisa mengangkat perekonomian, salah satunya lewat penyaluran kredit.

“Paling enggak sampai kebijakan penempatan uang pemerintah Rp200 triliun di bank (himbara) mulai kelihatan dampaknya. Baru kita akan pikirkan nanti soal pajak pedagang online,” ujar Purbaya.

3. Demi Jaga Daya Beli, Bukan karena Sistem Belum Siap

Penundaan pajak pedagang online yakni PPh pasal 22 yang dipungut oleh marketplace atas transaksi penjualan pedagang dalam negeri yang memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun dilakukan karena melihat kondisi ekonomi nasional yang dinilai belum sepenuhnya pulih. Ditambah serta untuk menjaga daya beli masyarakat yang masih tertekan.

Purbaya menegaskan bahwa penerapan aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tersebut baru akan dijalankan saat daya beli masyarakat membaik.

“Jadi kita enggak ganggu dulu daya beli sebelum dorongan ekonomi masuk ke sistem perekonomian,” jelasnya.

Selain itu Purbaya juga menepis anggapan bahwa penundaan pajak pedagang online karena sistemnya belum siap. Menkeu mengutarakan, Kemenkeu siap menjalankan kebijakan itu.

“Ini kami sedang ngetes sistemnya ya. Sudah bisa diambil, uangnya sudah bisa diambil, beberapa sudah diambil ya, jadi sistemnya sudah siap. Tapi yang jelas sistemnya sudah siap sekarang,” katanya.(rah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *