Strata Kehidupan

Strata Kehidupan

Oleh: Fanny J.Poyk*

Kastanews.com: TAK dapat dipungkiri strata kehidupan telah menjadi algoritma yang menempel kuat di masing-masing pemikiran, tatapan dan perilaku kehidupan sosial kemasyarakatan.

Pendidikan, kekayaan/material, pangkat/jabatan, menjadi faktor penting yang sangat diperhitungkan dan menjadi pemujaan yang mengarah ke unsur kepentingan dari sosok-sosok orang di dekatnya.

Bila dari sudut pendidikan dengan gelar berderet dan memiliki pencapaian seperti profesor, maka ditambah dengan tempelan material, jabatan dan kedudukan, lengkap sudah pemujaan, penghormatan dan kekaguman yang diberikan. Akumulasi pencapaian kesuksesan secara individu kemanusiaan telah tercapai.

Kesadaran akan perolehan dari pencapaian tertinggi itu membentuk kepribadian manusia menjadi dua hal penting yaitu alter ego dan pribadi pecah/ganda. Alter ego dibentuk secara sadar dan hanya muncul dalam situasi tertentu, hal ini berkaitan erat untuk menunjukkan versi terbaik dirinya dan merupakan persona yang memudahkan seseorang untuk mencapai tujuannya.

Dan ketika kehidupan berjalan tak seimbang antara si miskin dan si kaya yang kerap terjadi di bumi tempat tanah subur dan laut kaya, serta ragam kehidupan lainnya, menurut ahli psiko analisis Freud, ada tiga tingkat kesadaran yang harus dipahami manusia yakni sadar (conscious), pra-sadar (preconscious) dan tak sadar (unconscious), penginderaan seperti ingatan, persepsi, pemikiran, fantasi dan perasaan mulai bermain di segenap sisi kejiwaan manusia. Maka ketika hal tersebut terjadi, erat kaitannya dengan perilaku dan standard kejiwaan manusia.

Di sana strata kehidupan mulai tercipta. Yang miskin dan tak berdaya biarlah dia berpeluk dengan ketidakberdayaan dan kemiskinannya, mereka akan hidup di komunal yang setara. Sedang kaum kaya dan hedonis, intelektual, terpandang serta berpengaruh akan bersatu dengan ragam organisasi bentukan mereka, baik yang nyata atau terselubung.

Dan Albert Camus sang filsuf asal Prancis, mengajak kita sebagai manusia untuk hidup dengan kesadaran penuh dan menerima kenyataan bahwa hidup ini berisi dengan ketidakpastian. Mitos sisifus sebagai simbol absurditas yang mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihat batu itu menggelinding kembali, jangan sampai terjadi pada kita. Sebuah kesia-siaan yang fatal. Dan sebaiknya kita sebagai manusia dengan paham down to earth yang marginal tetap melekat di dasar jiwa. Karena itulah hakekat kehidupan yang sejati.

Dan ketika kau pergi dari bumi, maka jasadmu akan lebur bersatu dengan tanah, tak membawa segala kompilasi atribut persona dunia. Dari debu kembali menjadi debu.(*)

*Fanny J.Poyk adalah seorang Jurnalis yang kini terus aktif menulis, mulai dari cerpen, puisi, novel, yang akhir akhir ini mulai rajin melukis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *