JAKARTA (Kastanews.com)- Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia dalam beberapa bulan terakhir mengalami penurunan. Bahkan penurunan sudah memasuki zona kontraksi sejak April 2025 dengan angka 46,7 atau di bawah 50.
Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa sektor industri manufaktur nasional sedang mengalami tekanan serius. Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty meminta pemerintah dan industri harus bergerak cepat dan tepat untuk mengambil langkah-langkah strategis dan terkoordinasi.
“Saya mengajak seluruh pihak, baik pemerintah, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk tidak menunggu krisis lebih dalam. Pelemahan aktivitas manufaktur ini sudah terlalu dalam, mencapai level terendah sejak Covid-19. Hal ini harus dijadikan peringatan untuk segera bertindak demi menjaga ketahanan industri nasional dan melindungi tenaga kerja Indonesia,” katanya, Senin (19/5/2025).
Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan, penurunan PMI manufaktur tidak hanya berdampak pada penurunan produksi yang mengindikasikan turunnya output industry yang akan menekan pertumbuhan ekonomi, tapi juga mendorong Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pengangguran karena perusahaan cenderung melakukan efisiensi, yang berdampak lanjutan terhadap melemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya angka kemiskinan.
“Jika ini terus berlanjut maka akan berdampak pada masalah-masalah sosial. Kita tidak ingin ini terjadi. Karena itu kami di Komisi VII sebagai mitra Kementerian Perindustrian mengawal dan mendukung pemerintah untuk mencari solusi paling baik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ini,” katanya.
PMI yang rendah juga mengindikasikan iklim bisnis yang lesu di mana investor cenderung menahan ekspansi bahkan menarik investasi.
Bahkan jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, PMI yang terus turun bisa memicu sentimen negatif di pasar keuangan, bahkan dunia usaha menjadi lebih pesimis, memperlambat keputusan ekspansi, perekrutan, dan inovasi.
Menurut Evita, di antara solusi dalam rangka menghadapi ketidakpastian global yang muncul akibat kebijakan tarif, di antaranya dengan memperluas pasar ekspor melalui optimalisasi perjanjian perdagangan internasional dan peningkatan daya saing produk dalam negeri, kemudian penataan iklim investasi asing agar banyak masuk ke Indonesia, hingga pemberian stimulus fiskal yang tepat sasaran kepada sektor manufaktur, dalam bentuk insentif pajak, subsidi energi, dan keringanan logistik, hingga fasilitasi pembiayaan.
Selain itu perlu juga terus memperluas pasar dalam negeri karena permintaan yang kuat dapat menjadi penyangga saat ekspor melemah atau ketidakpastian global meningkat.
Antara lain dengan mendorong substitusi produk impor yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri dengan memaksimalkan konsumsi produk dalam negeri.(rah)