Soroti Keluhan Mitra, Grab Buka Alasan Tak Ubah Status Jadi Karyawan

Soroti Keluhan Mitra, Grab Buka Alasan Tak Ubah Status Jadi Karyawan

JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy mengungkap, alasan kenapa pihaknya sampai saat ini enggan untuk merubah status mitra pengemudi menjadi karyawan.

Menurutnya, pengangkatan mitra sebagai karyawan justru akan menimbulkan kerugian. Tirza menyebut model kemitraan tetap menjadi pendekatan utama Grab.

Ia memaparkan ada beberapa hal yang menjadikan status mitra lebih baik dibanding karyawan, utamanya adalah karena model kemitraan memberikan fleksibilitas yang lebih bagi para pengemudi.

“Marwahnya adalah fleksibilitas. Kapan pun bisa narik, ada yang mencari tambahan pendapatan. Ada juga yang ibu tunggal yang ngantar sekolah anaknya dulu, nanti jemput lagi, terus narik. Dengan marwah seperti itu, maka gak cocok kalau karyawan tetap,” ungkapnya, Kamis (22/5/2025).

Ia menjelaskan, bahwa saat ini sekitar 50% mitra pengemudi tidak memiliki pekerjaan tetap. Beberapa di antaranya merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK) atau sedang mencari pekerjaan lain, sementara sebagian lainnya menjadikan pekerjaan sebagai mitra Grab sebagai sumber pendapatan tambahan.

Tirza juga mengingatkan bahwa jika mitra diangkat menjadi karyawan, maka jumlah pengemudi akan menyusut karena tidak semuanya dapat dijadikan karyawan tetap. Proses rekrutmen juga akan lebih rumit karena akan melibatkan tahapan seleksi yang lebih ketat.

“Kalau nanti jadi karyawan tetap maka jumlah driver akan menyusut. Gak mungkin semuanya jadi karyawan tetap. Kemudian jadi sulit karena ada hak dan kewajiban. Terus nantinya jadi ojol gak segampang sekarang, karena nanti akan ada seleksi, ada interview, bisa terbayang nantinya bakal ada teman yang tak terakomodir,” lanjutnya.

Di samping itu, dampak negatif lain juga disebutnya akan dirasakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Jika jumlah driver menyusut akibat adanya pembatasan kuota serta seleksi yang ketat, maka kemampuan UMKM untuk dapat melayani pesanan pun akan berkurang, yang pada akhirnya juga berpengaruh pada performa bisnis mereka.

“Ini bisa berdampak negatif, termasuk terhadap UMKM dan merchant GrabFood karena pesanan makanan juga bisa berkurang,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Tirza juga menyoroti banyaknya keluhan mitra pengemudi ojek online (ojol) terkait potongan komisi di atas 20%. Menurutnya, Grab selalu mengenakan komisi sesuai dengan regulasi.

Dirinya mengungkap bahwa tuduhan tersebut merupakan bentuk kesalahpahaman. “Yang sering bergulir adalah persepsi bahwa aplikator ngambil komisi lebih dari 20%. Yang saya ingin tegaskan, kami dari Grab terkait ojol hanya di 20% yang terjadi adalah banyak orang salah paham,” terangnya.

Lebih lanjut Tirza menjelaskan, komisi Grab telah diatur sebesar 20% dari tarif dasar. Ia mencontohkan, jika tarif dasar sebuah perjalanan adalah Rp10.000, maka komisi yang diambil sebesar Rp2.000 dan sisanya, Rp8.000, menjadi hak mitra pengemudi.

Namun, Tirza menambahkan, bahwa total biaya yang dibayarkan oleh penumpang biasanya lebih tinggi karena adanya biaya platform sebesar Rp2.000. Sehingga, penumpang membayar Rp12.000, bukan Rp10.000.

Hal inilah yang menurutnya sering disalahartikan oleh pengemudi sebagai potongan komisi lebih dari 20%. “Kesalahpahaman itu yang sering terjadi. Tapi yang saya tekankan, tidak pernah di atasnya 20%,” tegasnya lagi.(rah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *