Retret untuk “Retret” Ala PDIP

Retret untuk “Retret” Ala PDIP

Oleh: Gantyo Koespradono (Pemerhati Sosial dan Politik)

PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) telah selesai. Para pemimpin baru — gubernur, wali kota, dan bupati — telah dilantik dan siap menjalankan amanah rakyat.

Dalam rangka mempersiapkan mereka agar lebih optimal dalam menjalankan tugasnya, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menginisiasi program pembekalan yang dikenal dengan istilah “retret.”

Program ini sebelumnya juga diterapkan kepada para menteri yang diwajibkan mengikuti retret di Magelang sebagai bagian dari penguatan visi dan strategi pemerintahan.

Namun, pada Jumat, 21 Februari 2025, beredar bocoran surat dari DPP PDIP yang ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Surat tersebut berisi instruksi kepada seluruh kepala daerah terpilih dari PDIP agar tidak menghadiri acara retret di Magelang.
Bahkan, bagi mereka yang sudah dalam perjalanan ke lokasi, diminta untuk segera menghentikan langkahnya dan kembali.

Langkah yang diambil Megawati ini mudah diduga sebagai bentuk kekecewaan PDIP terhadap pemerintahan saat ini, terutama terkait penahanan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Harun Masiku.

Beberapa hari sebelumnya, KPK resmi menetapkan Hasto sebagai tersangka, yang kemudian memicu ketegangan antara PDIP dan pemerintahan Prabowo.

Tindakan Megawati dapat diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan terbuka PDIP terhadap pemerintahan Prabowo, yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai kelanjutan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam pandangan PDIP, Jokowi telah berkhianat karena secara terang-terangan mendukung Prabowo dalam Pemilihan Presiden 2024.

Perseteruan ini menambah dinamika politik di Indonesia, memperlihatkan bagaimana hubungan antara PDIP dan Jokowi semakin merenggang.

Secara pribadi, saya berpendapat bahwa Megawati sebaiknya menghormati hukum dan tidak memperkeruh suasana. Jika Hasto merasa tidak bersalah, seharusnya ia menghadapi proses hukum dengan terbuka dan membuktikan kebenarannya di pengadilan.

Sebagai orang yang pernah berada di lingkaran satu pemerintahan sebelumnya, Hasto tentu mengetahui banyak hal tentang Jokowi dan pemerintahannya. Jika ada yang ingin diungkap, sebaiknya dilakukan dengan cara yang sah dan transparan.

Namun, jika tindakan ini justru berisiko merugikan PDIP sendiri, maka keputusan untuk melawan dapat dianggap sebagai tindakan yang kurang bijak.

Di sisi lain, kepala daerah yang terpilih dari PDIP adalah representasi rakyat. Jika retret merupakan bagian dari upaya memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, seharusnya PDIP menghormati dan mendukung hal tersebut.

Menurut saya, menolak keikutsertaan hanya karena faktor politik bukanlah langkah yang bijak. Jika memang PDIP merasa keberatan dengan kebijakan pemerintahan Prabowo, sikap yang lebih elegan adalah meminta semua kepala daerah dari PDIP untuk mundur dari jabatannya, bukan sekadar menolak retret.

Ada pula argumen yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih oleh rakyat, sehingga keputusan mereka untuk tidak menghadiri retret merupakan hak “prerogatif” mereka sendiri. Namun, perlu diingat bahwa jabatan publik bukanlah sekadar hak pribadi, melainkan juga tanggung jawab terhadap masyarakat yang telah memilih mereka.

Lebih jauh, sikap perlawanan PDIP ini mungkin bukan hanya semata-mata soal Hasto, tetapi juga bentuk kritik terhadap sistem hukum yang dinilai tidak adil.

Jika memang PDIP melihat ada ketidakadilan dalam penegakan hukum, maka cara yang lebih konstruktif adalah membuka dialog atau melakukan langkah-langkah hukum yang tepat. Menolak retret bisa jadi hanya menjadi simbol perlawanan, tetapi tidak membawa dampak nyata dalam memperjuangkan keadilan.

Pada akhirnya, politik memang selalu dinamis. Namun, kepentingan rakyat seharusnya tetap menjadi prioritas utama. Semoga para pemimpin yang baru dilantik tetap fokus pada tugasnya untuk melayani rakyat, tanpa terjebak dalam konflik politik yang berpotensi menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), retret berarti menarik diri sejenak dari rutinitas untuk mendekatkan diri kepada Tuhan serta mencari ketenangan batin.

Istilah ini akbrab dan biasa digunakan di kalangan umat kristiani. Mereka biasanya melakukan retret dalam suasana hening dengan berbagai kegiatan rohani.

Namun, kali ini PDIP menerjemahkan retret sebagai momentum bagi para kepala daerah asal PDIP untuk menarik diri dari acara retret dan membuat suasana batin negeri ini tidak menjadi hening, tapi malah sebaliknya, riuh rendah.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *