JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri, Senin (22/9/2025). Pembentukan tim ini mendapatkan kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil karena tidak libatkan unsur masyarakat.
Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute (PVRI) Usman Hamid mengatakan, hingga saat ini wacana Tim Reformasi Polri belum jelas baik dari pemerintah maupun Polri. Bahkan, tim tersebut belum melibatkan unsur masyarakat.
“Pembentukan Komisi Reformasi Polri yang direncanakan pemerintah belum terlihat memiliki kejelasan konsep dan tujuan yang jelas, termasuk dalam pelibatan unsur masyarakat,” ujar Usman, Senin (22/9/2025).
Dia juga mengkritik tim Transformasi Reformasi Polri yang baru dibentuk. Jika tim itu hanya berisi nama-nama perwira yang berasal dari Korps Bhayangkara maka tujuan agenda reformasi Polri akan sulit tercapai.
“Sulit berharap agenda reformasi Polri akan bermakna besar bagi masyarakat. Apalagi akar permasalahan di tubuh kepolisian sebenarnya juga bersumber dari kebijakan pemerintahan yang di mata masyarakat dirasakan tidak adil,” ungkapnya.
Dia mengkhawatirkan tim bentukkan Kapolri yang tidak melibatkan unsur masyarakat tidak akan berjalan transparan. Dengan demikian, berdampak bahwa kelembagaan polisi bisa dibenahi.
“Jika Tim Reformasi Polri hanya berasal dari kepolisian, maka akuntabilitas dan komitmen reformasi atas masalah lapangan dan kelembagaan polisi yang berkelindan dengan kebijakan negara kecil kemungkinan dapat dibenahi,” ujar Usman.
Peneliti Public Virtue Research Institute Muhammad Naziful Haq (Nazif) menjelaskan pembentukan tim oleh Kapolri bukan hanya bermasalah. Tim ini bahkan bisa membawa konflik kepentingan.
“Harusnya ada keragaman latar belakang, misalnya melibatkan akademisi, perwakilan masyarakat sipil atau tokoh yang berintegritas agar upaya ini membawa penyegaran struktural maupun kultural,” katanya.
Menurut Nazif, reformasi Polri bukan saja harus mengarah pada agenda penguatan akuntabilitas, transparansi, maupun pembenahan struktur dan kultur di lingkungan Polri. Keseriusan reformasi Polri diukur dari ada tidaknya perubahan kebijakan pemerintah dan kepolisian yang dituntut independen.
Keseriusan bukan dari jargon maupun kampanye media sosial masif melalui penggalangan dukungan kalangan tertentu.
“Tugas negara melayani hak-hak sipil, politik, dan sosial ekonomi rakyat. Jika penyelenggara negara hanya melayani elite, maka mustahil Polri dapat benar-benar melindungi dan mengayomi rakyat. Reformasi Polri wajib melibatkan masyarakat jika ingin membawa dampak positif bagi demokrasi,” ujarnya.(rah)