JAKARTA (Kastanews.com)- Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan keuangan Pertamina bisa kolaps akhir Tahun 2022, seiring tingginya harga minyak mentah dunia yang tak sebanding dengan harga jual yang ditetapkan.
Selain itu, penyaluran subsidi yang tidak tepat sasaran juga mempengaruhi beban anggaran pemerintah yang disalurkan ke Pertamina.
“Hari ini Pertamina kalau tak segera ditolong, akhir tahun ini kolaps. Catat ya, kalau tidak segera ditolong, Pertamina kolaps akhir tahun ini,” kata Sugeng dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (11/8).
Legislator NasDem itu menambahkan, Pertamina harus taat terhadap UU BUMN untuk menjadi perusahaan yang untung. Di sisi lain, Pertamina sebagai public service obligation (PSO) tidak bisa melakukan aksi korporasi untuk mengejar keuntungan.
Selanjutnya, harga jual BBM dan LPG juga ikut ditentukan pemerintah dan BPH Migas.
Sugeng menambahkan, dari sisi harga minyak mentah dunia ada perbedaan yang tinggi antara harga acuan Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) yang ditetapkan dalam APBN dan harga internasional. Harga minyak di dunia sudah tembus US$110 per barel.
“Di BBM, hari ini Pertalite harga produksinnya Rp17.300, Pertamina jual hanya dengan Rp7.600. Demikian juga di Pertamax, RON 92, Pertamina hanya jual dengan Rp12.500,” tandas Sugeng.
Sugeng pun membandingkan dengan BBM yang setara di perusahaan swasta harganya jauh lebih mahal. Misalnya, Shell 90 setara Pertalite dijual Rp17.000-an, sementara Shell 92 setara Pertamax dijual sekitar Rp18.000-an.
Hal yang sama terjadi di sisi LPG. Sugeng menyebut Pertamina menanggung biaya yang besar dari satu tabung gas LPG. Biaya produksi LPG sebesar Rp15.000 perkilogram. Sementara, agen penjual hanya membayar sebesar Rp4.000 perkilogram. Artinya ada selisih Rp11.000 per kilogram yang ditanggung Pertamina dan pemerintah lewat subsidi dan kompensasi.
“Maka setiap kilogram Pertamina menyubsidi sebesar Rp11.000. Kalau tabung LPG 3 Kg berarti disubsidi Rp33 ribu,’’ jelasnya.
Legislator NasDem dari Dapil Jawa Tengah VIII (Kabupaten Cilacap dan Banyumas) itu mengatakan, ada tiga pihak yang perlu diselamatkan dari kompleksnya permasalahan BBM ini. “Satu masyarakat menyangkut daya beli. Kedua APBN dan ketiga BUMN. Maka dari itu Menkeu Sri Mulyani terakhir menyampaikan, tolong kurangi ketat konsumsi BBM,” tandas Sugeng.
Lebih lanjut Sugeng menegaskan subsidi yang saat ini diberikan pemerintah masih belum tepat sasaran. Ia meminta skema baru pemberian subsidi. Ketidaktepatan subsidi BBM sekitar 62%, dengan penyaluran tepat sasaran hanya 38%. Sedangkan untuk LPG subsidi tidak tepat sasaran hanya mencapai 42%.
“Semua orang kan nenteng gas 3 kilogram, padahal gas 3 kilogram itu hanya untuk orang yang tak mampu,” ujarnya.
Ia berpendapat, subsidi BBM baiknya hanya menyasar kendaraan roda dua, angkutan kota, dan truk dengan roda empat. Alasannya, jika mengacu pada besaran CC mobil, belum tentu akan tepat sasaran. “Kalau dengan pendekatan di bawah CC 1500, kalau satu keluarga punya dua mobil, apa itu layak untuk disubsidi?,” tukasnya.(rls/*)