Peredaran Pupuk Palsu Rugikan Ekonomi dan Kerja Keras Petani

Peredaran Pupuk Palsu Rugikan Ekonomi dan Kerja Keras Petani

JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Setelah temuan beras oplosan di pasaran, kini ancaman terhadap ketahanan pangan nasional semakin nyata dengan peredaran pupuk palsu. Kedua praktik curang ini sama-sama merugikan petani dan dapat berdampak sistemik terhadap produktivitas sektor pertanian.

Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menegaskan bahwa kejahatan pemalsuan pupuk bukan hanya merugikan secara ekonomi, tapi juga menghancurkan harapan dan kerja keras petani.

Ia menyebut para pelaku sebagai “penjahat kemanusiaan” karena telah menipu kandungan nutrisi pupuk dan merusak masa tanam petani.

“Jika ribuan atau bahkan jutaan petani menjadi korban, kerugiannya bisa mencapai triliunan rupiah. Ini bukan semata angka, tapi ancaman nyata terhadap ketahanan pangan nasional,” kata Sudaryono dalam pernyataan resmi, Kamis (17/7).

Menurut Sudaryono, pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto tidak akan membiarkan praktik kejahatan seperti ini terus berlangsung. Ia menegaskan, Kementerian Pertanian (Kementan) telah berkomitmen untuk menindak tegas dan menyelesaikan akar persoalan pupuk palsu yang tersebar di berbagai wilayah.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebelumnya mengungkapkan, sejak awal 2025 telah ditemukan lima jenis pupuk palsu yang beredar luas dan menyebabkan potensi kerugian hingga Rp3,2 triliun. Lebih parah lagi, sebagian besar petani membeli pupuk tersebut menggunakan dana dari Kredit Usaha Rakyat (KUR).

“Akibatnya, mereka gagal panen dan berisiko bangkrut. Negara harus hadir. Kami telah memblokir empat perusahaan dan sedang menyelidiki 23 perusahaan lain yang memproduksi pupuk di bawah standar,” ujar Amran.

Masalah pemalsuan produk pertanian ini kian mengkhawatirkan. Kementan mencatat, terdapat 212 merek beras yang tidak sesuai dengan standar mutu dan takaran resmi. Beras kualitas biasa dijual sebagai premium dan harganya melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Temuan itu didapat dari hasil uji laboratorium terhadap 268 merek beras medium dan premium di 13 laboratorium independen, dilakukan pada 6–23 Juni 2025. Sampel berasal dari sejumlah daerah di 10 provinsi penghasil beras utama di Indonesia.

“Kami mendapati praktik pengoplosan dan pelabelan ulang yang menyesatkan konsumen. Ini merusak ekosistem distribusi pangan yang sehat dan berkeadilan,” ujar Amran.(rah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *