JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Pengakuan negara atas terjadinya 12 pelanggaran hak asazi manusia (ham) berat merupakan batu pijakan untuk menunaikan kewajiban negara terhadap penyelesaian pelanggaran ham berat dan pemenuhan hak-hak korban.
“Pengakuan negara ini merupakan peristiwa penting dalam kehidupan bernegara karena negara telah mengakui adanya kesalahan di masa lalu yang menjadi catatan kelam dalam sejarah perjalanan kehidupan bangsa,” ungkap Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari dalam keterangannya, Jumat (13/1).
Taufik menegaskan, pengakuan tersebut mesti diikuti dengan rasa penyesalan mendalam atas kesalahan negara yang telah diperbuat di masa lalu. Sehingga pengakuan ini membuka pintu untuk mengungkapkan fakta kebenaran atas peristiwa-peristiwa tersebut.
“Mengusut pelaku dan melakukan penegakan hukum, mengindentifikasi korban serta memulihkan dan memenuhi hak-hak korban, melakukan evaluasi dan reformasi kebijakan, hukum dan institusi untuk mencegah berulangnya peristiwa tersebut di masa mendatang mendatang,” papar Taufik.
Legislator NasDem dari Dapil Lampung I (Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Barat, Tanggamus, Pesawaran, Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Pringsewu, Pesisir Barat) itu juga menuturkan, langkah-langkah tersebut dinilai wajib dilakukan. Apalagi, penyelesaian pelanggaran HAM merupakan salah satu janji politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014.
“Dalam waktu dekat saya berharap pemerintah sudah memiliki program-program tindak lanjut secara sistematis, terukur, realistis dan komprehensif termasuk dalam hal penganggarannya dalam APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) ke depan,” sebut dia.
Prinsip Pemenuhan Kewajiban bagi Korban HAM
Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Partai NasDem ini juga menyampaikan, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi negara dalam memenuhi kewajiban terhadap pelanggaran HAM. Di antaranya, jaminan akses keadilan bagi para korban.
Selanjutnya, pemulihan yang layak bagi korban dengan segera dan tidak berlarut-larut. Pemulihan yang dimaksud yaitu pada aspek restitusi keadaan korban sebelum peristiwa terjadi, kompensasi penggantian kerugian korban yang dapat diperhitungkan dengan nilai ekonomis, dan pemulihan martabat korban.
“Dengan melakukan langkah-langkah serius membuka fakta, meminta maaf secara publik, membuat simbol peringatan seperti monumen dan sebagainya,” ujar dia.
Selain itu, pemerintah harus memberi jaminan informasi yang relevan bagi korban atau keluarga. Akses informasi tersebut meliputi fakta peristiwa yang terjadi dan mekanisme pemulihan yang disiapkan oleh negara.
Penanganan Non-Yudisial Tak Boleh Menutup Upaya Yudisial
Pemerintah berupaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan nonyudisial. Namun, hal itu tak boleh menutup penyelesaian secara yudusial.
“Penanganan non yudisial dengan penanganan yudisial harus bersifat komplementer, saling melengkapi, dan bukan substitusi, saling menggantikan,” kata Taufik.
Anggota Badan Legislasi DPR ini juga menegaskan upaya yudisial tetap harus dilakukan. Tujuannya agar korban dan publik memiliki hak untuk tahu akan kebenaran peristiwa tersebut.
“Karena itu dengan pengakuan ini pemerintah harus memastikan pengungkapan fakta atas peristiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai sejarah resmi yang diakui oleh negara,” ungkap dia.(RO/*)