Oleh Agus Wahid
BANDUNG (Kastanews.com): Tergantung cara pandang dan siapa yang berkepentingan. Itulah keberadaan oposisi. Bagi para establishment, oposisi mengganggu, bahkan mengancam. Tapi, rakyat justru memandang sebaliknya: kaum oposan atau bersikap oposisi sejatinya menyelamatkan negara dan rakyatnya. Karenanya menjadi krusial untuk melihat kembali dengan jernih persoalan oposisi itu.
Sejatinya, oposisi itu sunnatullah atau fitrah dalam sistem kehidupan manusia, termasuk panggung politik. Sebagai produk alamiah, tentu oposisi baik kedudukannya. Minimal, ada makna krusial dan strategis di balik sikap oposisi. Dalam kontek demokrasi, posisi oposisi sungguh diperlukan. Posisinya tak kalah terhormat dibanding pihak yang berada di “dalam kekuasaan”. Itulah posisi oposisi yang sempat dilontarkan Mas Anies dalam debat calon presiden (capres), 12 Desember kemarin.
Diksi kata “oposisi” menjadi menarik untuk ditelaah lebih jauh. Dalam konteks Indonesia, ada kecenderungan kuat untuk bersikap politik “ada di dalam kekuasaan”. Atau, menjadi bagian dari koalisi bersama kekuasaan. Kecenderungan itu dibangun secara timbal-balik. Di satu sisi, sejumlah partai politik merasa tidak nyaman jika berada di luar kekuasaan. Karena itu, mereka berusaha bagaimana merapat ke kekuasaan. Sikap politik ini diwujudkan di parlemen, ataupun masuk dalam jajaran kabinet. Sisi lain, penguasa itu sendiri juga merancang bagaimana mengkooptasi partai-partai agar berada dalam koalisi pemerintahannya. Agar mendapat dukungan penuh, sehingga processing regulasi – secara politik – lancar.
Data sejarah mutakhir di Tanah Air ini menunjukkan, banyak partai tak tahan sebagai oposisi. Di antara mereka, lebih merasa aman (saved), bahkan berdaya dan terhormat ketika dirinya masuk dalam pemerintahan. Motif beragam. Sebagian memang anasir psikologis itu, termasuk haus kekuasaan, yang memang dikejarnya sebagai misi utama terjun ke politik. “Politics is how to get what (means a power)”, kata teotisi political scientist, Lord Acton.
Sebagian lagi memang harus ikut bersama dalam kekuasaan karena kasus hukum yang menyanderanya. Tak ada opsi lain kecuali harus tunduk pada upaya kooptasi itu. Demi keselamatan dirinya. Dan sebagian lagi, demi mempertahankan keamanan imperium bisnisnya, atas nama dirinya, atau keluarganya. Vested interest itulah yang mendorong mereka tak tahan berada di luar kekuasaan.
Proporsionalkah landasan kepentingan itu? Fakta bicara, memang sang penguasa pun merancang sedemikian rupa untuk mengeliminir peran dan keberadaan oposisi. Fakta bicara, tak sedikit nasib oposan dikejar posisi hukumnya, sampai harus meringkuk di balik jeruji besi. Minimal, persekusi. Bahkan, untuk kalangan oposan dari unsur civil society, nasibnya lebih tragis: bukan hanya kriminalisasi, tapi sampai “penjemputan” nyawa secara paksa. Tentu, oleh kaki tangannya. Sangat sistimatis.
Jika tidak sampai pada bentuk kriminalisasi dan pembantaian, setidaknya, di antara oposan diganggu kepentingan bisnisnya. Itulah yang kita saksikan pada keberadaan Surya Paloh karena sikap politiknya – setidaknya dalam dua tahun terakhir – yang tak mau lagi bersama penguasa. Ada kesadaran yang memang harus terpanggil menciptakan restorasi (perubahan) untuk bangsa dan negeri ini jauh lebih baik dan berkeadilan. Ada urgensi perubahan yang sangat asasi dan substantif bagi seluruh anak bangs aini.
Sebuah renungan, mengapa harus melenyapkan oposisi atau oposan? Itulah ketidakpahaman sang penguasa. Sikap oposisi dinilainya sebagai penggangu jalannya kekuasaan, bahkan ancaman serius sehingga dipandang sebagai musuh. Cara berpikir ini perlu diluruskan. Sebagai manusia biasa tak akan mungkin terlepas dari alpa. Karenanya, berbagai produk kebijakan (mulai dari perumusan sampai tingkat implementasi) tidak mungkin seutuhnya sempurna. Pasti saja ada kekurangan. Fitrah. Di sinilah urgensinya sikap oposisi. Jika ia wakil rakyat, tugas mereka untuk mengkritisi dan membahas regulasi yang sejalan dengan kepentingan rakyat. Tugas fungsional mereka pula untuk mengontrol implementasi yang tak sesuai dengan kebijakan yang telah terformat.
Yang perlu digaris-bawahi, semakin tajam, kritis dan berkualitas kritiknya, maka produk kebijakannya semakin berkualitas. Semakin kecil kecil tingkat keberbedaannya dengan kepentingan rakyat. Dan itu sesuai amanat konstitusi yang barus mengakomodasi kepentingan rakyat dan negara. Dan semakin tajam dialektikanya dan publik semakin produktif dalam mereview, hal ini mendorong para perumus kebijakan untuk menggali argumen sekomprehensif mungkin pada setiap produk hukum dan politik yang dirumuskan. Pengimplementasiannya pun menjadi jauh lebih berhati-hati karena terkontrol kuat dari elemen parlemen, atau lapisan civil society. Inilah peran balance of power yang akan membuat perjalanan pemerintahan on the track. Terjauh dari potensi penyalahgunaan kekuasaan secara terencana, apalagi sistimatis.
Itulah sebabnya, oposisi sungguh diperlukan peranannya dalam sistem pemerintahan demokratik. Dalam lompatan waktu ke depan, peran oposisi menjadi faktor penting untuk mencegah diktatorisme dan mobokrasi (sistem pemerintahan yang lebih mengandalkan “otot” atau “laras”). Hal ini berarti pula, oposisi menjadi penting untuk mencegah potensi tragedi kemanusiaan dan kenegaraan lebih besar. Karenanya, sungguh ideal dan terhormat posisi oposisi. Tidaklah berlebihan jika dikatakan oposisi sang penyelamat rakyat dan negara. Pandangan ini sejalan dengan kepentingan oposisi bukan untuk penguasa.
Sayangnya, sekali lagi, kecenderungan para politisi di Tanah Air ini, lebih terdorong masuk ke dalam kekuasaan. Sebuah dorongan yang sejatinya melanggar sunnatullah atau fitrah. Sebenarnya, ada catatan empirik yang perlu dijaga dan dihidupkan kembali. Sebelum rezim terkakhir ini, Megawati pernah menunjukkan konsistensinya sebagai oposan ketika Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin. Sebaliknya, SBY pun tampak enjoy berada di luar kekuasaan dalam masa dua periode terakhir ini, meski kadang “malu-malu kucing” dan ga betah sebagai oposan. PKS pun istiqamah sebagai oposan dalam satu dasawarsa terakhir. Toh, mereka tetap terhormat sebagai oposan.
Partai-partai lainnya? Memang lebih terdorong masuk ke panggung kekuasaan. Meski demikian, NasDem dan PKB, apalagi PKS kini menunjukkan keberanian frontalnya: tidak mau lagi bersama penguasa saat ini dan “rezim boneka” ke depannya yang kini maju dalam pilpres. Realitas politik di lapangan menunjukkan, para oposan itu justru jauh lebih terhormat. Digandrungi bagai pahlawan. Why, karena negara dalam krisis akut. Karenanya, jutaan orang kini menyambut dengan penuh heroik, tanpa “nasi bungkus atau amplop, makan siang dan susu” atas kehadiran kekuatan yang kini dalam posisi berseberangan dengan penguasa. Untuk membenahi negara yang sudah lama menyengsarakan dan menistakan rakyat, menghancurkan bahkan menggadaikan negara. Stop. Itulah yang menggelorakan anak bangsa bersama suara oposan saat ini.
Bandung, 19 Desember 2023
Penulis: analis politik