KASTANEWS.ID, CILEDUG: Sabtu pagi, 5 Juni 2021, WAG (Grup WhatsApp) kelas kami, A.3-1, masuk sebuah pesan dari Eyang Uti. Sapaan akrab kami untuk memanggil Endang, teman sekelas kami. Eyang Uti mengabarkan, ‘anak asuh kelas kami’, Alhamdulillah sudah lulus dan Insya Allah akan masuk ke SMA.
Saat ini, ‘anak asuh kelas kami’ masih di Cirebon, tapi nanti saat sekolah tatap muka akan dimulai, dia akan kembali ke Jakarta lagi.
Pesan itu disambut suka cita seluruh anggota WAG. Ungkapan syukur berhamburan. Ucapan terima kasih kepada Eyang Uti, yang kami percayakan agar menghandle langsung ‘anak asuh kelas kami’ berjalan dengan baik, ikut mewarnai chat pagi.
Eyang Uti bukan hanya menghandle langsung ‘anak asuh kelas kami’, tetapi juga sekaligus menjadi bendahara khusus kebutuhan ‘anak asuh kelas kami’. Perkembangan tumbuh kembangnya, Eyang Uti yang paling tahu. Kebutuhan apa saja yang memang menjadi tanggungjawab kami, ‘anak asuh kelas kami’ tinggal ngomong sama Eyang Uti.
Kisah ‘anak asuh kelas kami’ bermula ketika salah seorang sahabat kami, teman sekelas kami, pergi untuk selamanya. Ada satu anaknya yang masih kecil yang saat itu masih duduk di bangku SMP. Ibunya sedang berada di luar negeri menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI d/h TKI).
Terpanggil agar pendidikan anak sahabat kami itu tidak putus di tengah jalan, anggota kelas berembuk untuk bisa membantu pendidikannya. Setelah dilakukan perbincangan dengan keluarga besar almarhum sahabat kami yang meninggal itu, akhirnya teman-teman satu kelas bersepakat untuk mengangkat anak sahabat kami itu menjadi ‘anak asuh kelas kami’.
“Anak asuh kelas kami sejak saat ini menjadi anak kami semua. Jadi bukan sekedar anak asuh. Ini merupakan titipan Tuhan yang paling berharga. Semoga kami semua dapat memaknainya dengan bijak, karena tidak hanya sekedar jadi orang tua asuh kelas saja sebagai predikatnya, tapi kami juga harus ikut memonitor dan memperhatikan anak ini langsung dalam perjalanan hidupnya,” ungkap Ery, ketua kelas abadi kelas kami.
Seluruh kebutuhan biaya pendidikan ‘anak asuh kelas kami, anggota kelas yang menanggung. Caranya dengan patungan yang dikumpulkan di Eyang Uti. Kemudian Eyang Uti yang akan mendistribusikan bantuan sesuai kebutuhan kepada ‘anak asuh kelas kami’.
Tidak ditentukan berapa jumlah yang harus diberikan ke bendahara. Tidak ditentukan siapa yang harus memberikan sumbangan. Tidak ada aturan waktu-waktu tertentu harus menyumbang. Bahkan di antara kami, tidak ada yang tahu, siapa saja di antara kami yang menyumbang untuk pendidikan ‘anak asuh kelas kami’. Yang tahu hanya ketua kelas abadi kami dan Eyang Uti selaku bendahara.
Dengan pola seperti itu, saldo kelas kami khusus untuk ‘anak asuh kelas kami’ telah mencapai angka lebih dari enam juta rupiah. Sebuah kesadaran dan tanggungjawab menjaga agar pendidikan anak sahabat kami tidak putus, Alhamdulillah bisa terawat dari dasar hati.
Untuk sampai pada pola pengumpulan dana seperti itu, awalnya memang agak rumit. Namun akhirnya kami bersepakat agar, siapapun bisa memberikan sumbangan pendidikan, tidak ditentukan jumlahnya, dan kapan mau menyumbang tidak ditentukan. Bagi yang ada rejeki, bisa langsung transfer bendahara dengan catatan, untuk sekolah ‘anak asuh kelas kami. Begitupun bagi yang rutin menerima gaji, setiap habis gajian, langsung menyisihkan untuk pendidikan ‘anak asuh kelas kami’.
Jumlahnya tidak besar. Tapi bila hal tersebut dilakukan rutin setiap bulan oleh mayoritas anggota kelas, Insyaallah ‘anak asuh kelas kami’ akan bisa menyelesaikan pendidikannya kelak.
“Pola ‘anak asuh kelas kami’ rasanya perlu ditularkan untuk kelas-kelas lain deh, jadi temen temen dari kelas lain bisa mengadopdi konsep yang sudah dilakukan A.3-1. Apalagi saat ini kita semua sedang menghadapi pendemi Covid-19 yang belum juga bisa dipastikan selesainya kapan. Udah gitu, Covid-19 udah menimbulkan banyak orang kehilangan tenaga kerja. Banyak di antaranya adalah teman-teman kita yang juga Alumni SMAN 82 DAHA Jakarta.
Makanya suka jadi kepikir, supaya pendidikan anak-anaknya tidak terbengkalai, rasanya masing-masing kelas bisa mengambil inisiatif untuk memulai mengambil ‘anak asuh kelas’ yang biayanya ditanggung bersama-sama,” pungkas Ery.
Tidak ada hidup yang lengkap dan sempurna selain bisa saling menolong sesama.(*)