Oleh Gantyo Koespradono
KASTANEWS.ID: LAGU seri “Nusantara” yang dinyanyikan Koes Plus pada era 1970-1980 mendadak berkumandang hari-hari ini setelah Presiden Joko Widodo menetapkan nama ibukota baru negara: Nusantara.
Mendengar seri lagu “Nusantara” yang diciptakan dan dipopulerkan Koes Plus (menghayati syairnya), demikianlah sesungguhnya Indonesia. Kaya, indah, menakjubkan dan membanggakan.
Rasanya tidak sabar ingin melihat seperti apa ibukota negara yang baru, Nusantara, nun di Kalimantan Timur yang hutannya lebat seperti dilukiskan Koes Plus dalam salah satu lagunya, “Nusantara 3.”
Berikut syairnya: Hutan belantara/banyak tersebar ../ Nusantara//Semua harta yang tak terhingga/milik kita//
Di sana tempatnya/tanah idaman kita semua//Tanah yang kaya bagai permata/Nusantara//
Reff:Semua kagum olehnya/tanah di khatulistiwa//Bagi yang telah melihat/hati terpikat ../Nusantara//
Menyimak lirik lagu-lagu “Nusantara” Koes Plus yang lain, saya akhirnya baru sadar bahwa kita memiliki kekayaan dan potensi luar biasa, namun belum pernah digarap secara serius.
Pikiran bawah sadar kita atau setidaknya saya selama ini menyimpulkan Indonesia ya seperti sekarang atau sebelum Jokowi menjadi presiden.
Kalau saya membayangkan sungai, ya sungai yang airnya mengakibatkan banjir. Kalau saya membayangkan hutan, ya hutan yang menjadi penyebab banjir karena ditebangi manusia atau menimbulkan kebakaran hebat di musim kemarau.
Kalau saya membayangkan kota, ya kota seperti sekarang ini yang kumuh, lalu lintas macet dan banjir karena pemimpinnya menjadikan sumur resapan sebagai solusi mengusir banjir.
Karena itu saya bisa pahami jika ada sekelompok orang yang belakangan ini suka mengharam-haramkan sesuatu yang tidak disukai kemudian ikut “mengharamkan” Nusantara.
Maklumlah, segolongan orang itu — terwadahi dalam sebuah partai politik — memang alergi dan menimbulkan gatal-gatal hebat manakala Jokowi berpikir dan bertindak progresif untuk Indonesia.
Harap maklum pula, mereka doyan mengagung-agungkan peradaban lama yang mereka yakini hebat dan layak ditiru oleh Indonesia dengan menjual (maaf) agama.
Di DPR hanya sekelompok orang ini yang menolak pemindahan ibukota negara (Jakarta) ke Nusantara. Mereka keberatan mungkin karena tokoh yang mereka puja puji sebagai pemimpin di kota ini punya prestasi luar biasa.
Mereka sensi proyek pemindahan ibukota dari Jakarta ke Nusantara sebagai bentuk ketidakpercayaan Jokowi kepada orang yang mereka usung dengan jualan ayat dan mayat.
Saya bisa pahami, mereka memang oposan. Apa pun ditolak, termasuk RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Ketika delapan fraksi DPR-RI menerima atau menyetujui RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR, Selasa (18/1), fraksi orang-orang itu menolak.
Alasannya juga tidak jelas. Bersikap mendua. Berada di dua kaki. Lewat juru bicaranya, fraksi ini akan menyetujui RUU TPKS jika pelaku kekerasan seksual dihukum mati, sesuatu yang pasti akan ditolak oleh delapan fraksi sebab lebay.
Tapi di sisi yang berbeda, mereka menolak karena RUU TPKS yang ada sekarang tidak komprehensif lantaran LBGT tidak dimasukkan dalam rumusan pasal dan ayat dalam RUU. Ini juga lebay. Siapa yang berhak menuduh atau memutuskan seseorang LBGT?
Saya sependapat dengan banyak orang yang mengatakan jika partai itu menolak sesuatu yang diputuskan pemerintah, maka sesungguhnya apa yang diputuskan pemerintah sudah benar. Kita dukung untuk dilanjutkan.
Begitu pun soal pemindahan ibukota dan Nusantara. Lanjutkan!
Izinkan saya kutip kembali lirik lagu Koes Plus, Nusantara 5: Ribuan pulau tergabung menjadi satu//Sebagai ratna mutu manikam//Nusantara, oh, Nusantara//
Berlimpah-limpah kekayaan Nusantara//Tiada dua di mana jua//Nusantara, oh, Nusantara//Siapa tak kenal Nusantara?//
Alamnya indah serta udara yang cerah//Menjadi kebanggaan semua//Nusantara, oh, Nusantara//
Aneka bunga terhampar sekitar kita//Seakan ada di dalam surga//Nusantara, oh, Nusantara.[]