Oleh : Hony Irawan*
JAKARTA (Kastanews.com): Istilah financial freedom atau kebebasan finansial sering dipahami dalam kacamata duniawi sebagai kemampuan untuk membeli apa pun yang diinginkan dan dibutuhkan tanpa rasa khawatir akan kekurangan uang. Gaya hidup ini seolah menjadi tujuan akhir banyak orang: bekerja keras, mengumpulkan kekayaan, lalu menikmati hasilnya dengan hidup serba cukup, mewah, dan bebas dari beban finansial.
Namun, pandangan ini kerap menimbulkan paradoks. Keinginan manusia tidak mengenal batas. Hari ini menginginkan mobil, esok rumah lebih besar, lusa liburan ke luar negeri, dan seterusnya. Jika financial freedom diukur dari terpenuhinya keinginan, maka ia adalah ilusi yang tak akan pernah benar-benar tercapai. Di sinilah agama, khususnya Islam, hadir memberi sudut pandang yang membebaskan jiwa: bahwa kunci kebebasan finansial sejati bukanlah pada kemampuan memenuhi semua keinginan, melainkan pada kemampuan mengendalikan keinginan dan menentukan kebutuhan dengan bijak.
Perspektif Ekonomi: Keinginan Tak Terbatas, Sumber Daya Terbatas
Dalam ilmu ekonomi klasik, dikenal prinsip bahwa kebutuhan manusia bersifat terbatas, tetapi keinginan manusia bersifat tak terbatas. Sementara itu, sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut bersifat terbatas. Maka, inti dari ekonomi adalah bagaimana mengelola keterbatasan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan yang tak pernah habis secara efisien.
Teori ini secara logis menunjukkan bahwa pemenuhan keinginan tidak bisa menjadi tolok ukur keberhasilan finansial. Sebab, tak peduli sebanyak apa pun kekayaan yang dimiliki, keinginan baru akan terus bermunculan. Maka, orang yang selalu mengikuti nafsu konsumtif tanpa kendali justru akan terus merasa kekurangan, bukan merasa merdeka secara finansial.
Perspektif Islam: Menentukan Kebutuhan, Mengendalikan Keinginan
Islam memberi panduan spiritual yang membebaskan manusia dari belenggu duniawi. Dalam Islam, kebebasan sejati tidak ditentukan oleh banyaknya harta, tetapi oleh kemampuan jiwa untuk merasa cukup (qana’ah). Rasulullah SAW bersabda:
> “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (sejati) adalah kekayaan jiwa.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan kata lain, financial freedom menurut Islam adalah ketika seseorang mampu hidup sesuai kebutuhannya, tidak tergoda oleh nafsu untuk memiliki segalanya, dan merasa cukup atas rezeki yang diberikan Allah.
Al-Qur’an juga memperingatkan manusia agar tidak tenggelam dalam hasrat duniawi:
> “Dan janganlah engkau panjangkan angan-anganmu terhadap apa yang Kami berikan kepada sebagian golongan dari mereka sebagai perhiasan kehidupan dunia, untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”
(QS. Thaha: 131)
Strategi Menuju Kebebasan Finansial ala Islam
1. Membedakan kebutuhan dan keinginan: Kebutuhan bersifat esensial—pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Keinginan bersifat tambahan dan seringkali tidak mendesak. Finansial freedom menurut Islam justru dicapai ketika seseorang hidup sesuai kebutuhan yang terukur.
2. Mengendalikan nafsu konsumtif: Mengontrol diri untuk tidak membeli sesuatu hanya karena tren atau gengsi, melainkan karena memang dibutuhkan. Ini sejalan dengan konsep zuhud, yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat bagi akhirat, walaupun hal itu diperbolehkan secara syariat.
3. Mengatur keuangan dengan amanah: Islam mengajarkan pentingnya manajemen keuangan—membelanjakan harta secara bijak, tidak boros (tabdzir), dan menyisihkan untuk sedekah serta infak.
4. Berinvestasi dengan orientasi akhirat: Harta bukan sekadar untuk dinikmati, tapi juga alat untuk menebar manfaat dan mendapatkan keberkahan. Maka financial freedom mencakup kemerdekaan untuk bersedekah tanpa takut miskin, karena yakin pada janji Allah:
> “Barang siapa yang memberikan pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), niscaya Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
(QS. Al-Baqarah: 245)
Penutup: Merdeka Karena Mampu Menahan Diri
Financial freedom yang hakiki bukanlah kemampuan untuk membeli semua yang diinginkan, tetapi kemampuan untuk mengatakan “tidak perlu” ketika godaan duniawi datang. Kebebasan sejati adalah ketika hati tidak terikat pada harta, dan jiwa merasa cukup dengan apa yang ada.
Sebagaimana pepatah Arab mengatakan:
> “Man qana’a istaghna.”
“Barang siapa merasa cukup, maka ia telah kaya.”
Jadi, daripada mengejar kebebasan semu untuk membeli segalanya, lebih baik mengejar kebebasan sejati: membatasi keinginan, menentukan kebutuhan, dan bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan.
Allahualam bi sawab.(*)
*Penulis adalah Conten Creator dan Pengajar di IISIP Jakarta