SUDUT MANGGARAI (Kastanews.com): Rumah itu terletak tidak jauh dari rel kereta Stasiun Manggarai ke arah Stasiun Cikini. Cukup sederhana. Perabotan di dalam rumah itu pun boleh disebut tidak mewah. Biasa-biasa saja. Bahkan dinding rumah pun, nyaris tertutup perabotan rumah tangga serta bingkai-bingkai foto keluarga dan semacamnya.
Dari sekian banyak bingkai yang menempel di dinding, mataku tertancap pada satu bingkai besar berlatar belakang hitam. Aku mendekat. Tertulis di sana catatan silsilah keluarga Pulungan. Salah satu marga Batak Angkola. Leluhur marga Pulungan bernama Ompu Tunggal Huayan Pulungan yang berasal dari Sayur Matinggi dan merupakan keturunan Raja Borbor.
Yang membuatku takjub, nama paling atas di silsilah tersebut. Nabi Adam AS. Otakku berpikir. Bagaimana caranya kita mengurut silsilah keluarga kita hingga sampai ke Nabi Adam bila tidak dilengkapi catatan yang runtut dan bukti sejarah yang cukup. Tapi itulah marga Pulungan. Boleh jadi ada marga lain atau suku bangsa lain yang juga mempunya catatan silsilah keluarganya hingga ke manusia pertama yang diturunkan ke muka bumi ini.
Dan karibku itu adalah Kamaludin Pulungan. Meski sama-sama menimba ilmu di kampus cinta, tapi beda jurusan. Aku Jurnalistik, Kamal Penerangan. Tapi kami disatukan oleh kelompok dan tempat kos. Meski Kamal tidak memiliki status sebagai anak kos. Tapi dia sering kumpul di tempat kos, sehingga kami menjadi dekat. Satu frekswensi kata anak-anak sekarang.
Sebagai anak kos, rasa lapar menjadi menu hari hari. Dan kenakalan menjadi bumbu harian. Salah satunya ‘ngembat’ ayam tetangga. Joko Dolok lah leadernya untuk mengolah ayam hasil ‘embat’an itu.
Saat aku ingin membuat kolam ikan kecil di belakang kos, aku membutuhkan bata merah untuk dijadikan kotak kolam. Gerilya mencari bata merah pun dilakukan. Kebetulan, tetangga yang ayamnya pernah kami ‘embat’, sedang merenovasi rumah. Bata merah tertumpuk di pinggir jalan. Karibku, Kamal, dengan sarungnya sukses besar memboyong bata merah sejumlah bata yang diperlukan untuk membuat kolam.
Kolam pun jadi. Setelah dilapisi platik bening tebal, diisilah dengan ikan mas koki. Lampu menghiasi kolam. Membaca dan belajar bersama ikan-ikan menggemaskan itu rasanya sedap sekali. Tapi sialnya, keesokan harinya, kolam itu tandas airnya. Rupanya, tikus got menggerogoti kolam itu. Airnya habis, ikan mas kokipun tinggal siripnya.
Hutangku pada Kamal ada yang belum terbayar. Dua buku Di Bawah Bendera Revolusi belum bisa aku kembalikan. Buku itu ditelan banjir besar. Aku nggak bisa membalasnya. Semoga Kamal bisa memaafkan.
Kamal bukan lelaki sembarangan. Bekal agama dari keluarganya sudah bagus sejak aku mengenalnya. Ayahnya seorang tokoh agama dilingkungannya. Bahkan jika tidak salah ingat, ayahnya meninggal saat khotbah Jumat.
Meski tidak sempurna, karena menderita polio sejak lahir, tapi Kamal berani berdiri paling depan sambil mengayunkan parang saat perkelahian terjadi antar kampung. Jadi kalau sekarang kita mendengar Manggarai (seputar pasar rumput) sering ada perkelahian, itu adalah bagian dari jejak masa lalu.
Bukan hanya berani berkelahi, Kamal juga punya kekasih. Jauh lebih tinggi darinya. Pernah diajaknya ke tempat kos. Diperkenalkan pada kami teman-teman kosnya. Cinta menyatukan mereka.
Waktu beranjak cepat. Suharto lengser. Kementerian Penerangan dibubarkan. Aku pun tak tahu lagi kabar karibku Kamaluddin Pulungan. Sesekali ada pertemuan atau arisan atau pengajian, baru bisa bersua. Tapi kisah dan cerita apa yang dia lakukan setelah usai urusan dengan kampus cinta, nyaris aku kehilangan informasi.
Tapi yang jelas, saat aku pindah rumah dari Kalibata ke Pamulang, Kamaludin Pulungan yang membacakan doa di rumah baru itu. Bahkan, jika nanti meninggal lebih dulu, rasanya aku ingin Kamaludin karibku yang membacakan doa doa di liang kuburku.
Terakhir perjumpaan dengan Kamal saat kami sama sama memperingati tiga hari meninggalnya istri karib kami lainnya, Iwan Buches. Kami bertemu. Kami bercerita. Rupanya, Kamal sempat mondok di salah satu pesantren di Bandung mendalami ilmu agama beberapa tahun.
Bahkan di pesantren itu pula, Kamal dipertemukan dengan istrinya oleh kyai pondok tersebut. Jarak usianya terpaut cukup jauh, hampir 18 tahun (kalau tidak salah).
“Serunya, waktu menikah, gue sama sekali belum mengenal calon istri. Jangankan mengenal, ngelihat juga nggak. Tapi gue percaya sama kyai gue, ini pasti pilihan terbaik buat gue,” terang Kamal di pertemuan terakhir kami.
Bahkan, tambah Kamal, saat menikahpun, dia tidak melihat istri sahnya. Maka ketika tengah malam tiba, saat Kamal ingin ngopi karena tidak bisa tidur, Kamal ke dapur. Di situ Kamal mengaku dikejutkan oleh suara perempuan yang menawarkan membuatkan kopi untuk dirinya.
“Dan malam itu gue baru liat bini gue pak,” ujar Kamal sambil tertawa terbahak.
Dari perempuan yang dinikahi tanpa pertemuan itulah, kini Kamal telah memiliki tiga orang anak. Istrinyapun aktif membantu Kamal mengurus keperluan dalam mengelola Madrasah Diniyah Takmiliyah Sirojul Huda dengan beberapa puluh siswa dari lingkungan sekitar. Kamal juga dipercaya warga sekitar untuk menjadi pimpinan masjid.
Di lingkungannya, kini Kamal menjadi rujukan untuk hal-hal yang berbau keagamaan. Mulai dari urusan kematian hingga membacakan doa di berbagai acara.
Semakin bertambah usia, Kamal tampak semakin bijak menjalani hidup. Membina mental dan moral anak-anak di lingkungannya yang terhitung keras. Jika saja moral dan mental anak-anak yang dibinanya menjadi baik hingga tumbuh kelak, maka bila hal seperti ini juga dilakukan di lingkungan lain, niscaya bangsa ini juga akan membaik mental dan moralnya.
Insya Allah, dengan bekal ilmu komunikasi dan bekal ilmu agama yang dimilikinya, semua angan-angan itu menjadi nyata. We proud of you tadz.(*)