Oleh: Hony ‘Kiting’ Irawan; Penggiat Digital Marketing
KASTANEWS.ID: Teknologi informasi merusak kemapanan pola konsumsi, distribusi dan produksi konten dan kemasan berita selama ini. Pengaruhnya memberi masalah besar bagi kelangsungan hidup “media mainstream”. Ditulis dalam tanda kutip di sini, karena yang disebut mainstream saat ini mungkin bukan lagi radio, televisi dan koran sebagaimana yang dimaksud.
Digitalisasi dan internet memang memberikan bukan hanya kecepatan dalam produksi, distribusi dan konsumsi informasi, namun juga kemudahan dan interaktifitas dimana tiap orang dapat atau memiliki akses yang sama menjadi produser, distributor sekaligus konsumen dari berita. Masyarakat menjadi obyek sekaligus subyek berita.
Yang membedakan adalah pada keterampilan dalam menyampaikan pesan hingga mampu menarik perhatian banyak orang dan mencapai efek komunikasi yang diharapkan. Sementara masyarakat juga memiliki “kuasa” atau kebebasan atas apa yang dikonsumsi sedemikian rupa.
Akun media sosial individu yang menjadi idola bahkan “musuh publik”, efektif dapat menjadi tempat berkumpul banyak orang, yang secara sosiologis akan selalu diikuti oleh yang ingin berjualan.
Karena dimana orang berkumpul, di situ banyak yang ingin menjual sesuatu.
Peralihan tempat berkumpul dari “media mainstream” ke media sosial juga berpengaruh pada perpindahan para “pedagang” yang berbondong-bondong membuat “kue iklan” di media sosial makin membengkak di satu sisi, dan kue iklan di “media mainstream” makin mengecil hingga pada titik kestabilan baru.
Hal ini kian bertambah dengan berbagai platform media sosial yang memberikan layanan adsense yang di satu sisi memungkinkan para pengiklan dapat memilih akun dan konten dengan lebih spesifik berdasarkan audiens yang dituju. Dan di sisi lain membuka peluang usaha sebagai content creator dan pengelola akun media sosial termasuk YouTube.
Media digital mampu mendata, menseleksi, dan menyebarkan konten secara akurat dan termonitor lebih tepat. Sehingga tidak hanya dapat memantau dampak namun juga proses dan hasil keterjangkauan. Bahkan indikasi perubahan persepsi yang dapat menjadi dasar arah, konten dan kemasan komunikasi publik yang dilakukan.
Keterampilan serta keahlian dalam analisis komunikasi dan media, penyusunan strategi pemasaran digital, copy writing termasuk produksi konten dan distribusinya menjadi penting. Bukan hanya bagi tokoh politik, lembaga namun juga individu dan profesional yang tentu membutuhkan dukungan masyarakat luas.
Salah satu yang cukup memiliki keterampilan tersebut adalah Ridwan Kamil. Mantan walikota Bandung yang saat ini menjadi Gubernur Jawa Barat ini adalah salah satu pejabat publik yang selama ini aktif bermedia sosial. Kinerjanya di media sosial dapat diukur dari jumlah follower di Instagram yang mencapai 14 juta akun lebih.
Pada kesempatan sharing di podcast Koran Pikiran Rakyat, Kang Emil sempat menyampaikan pentingnya hasil-hasil pembangunan dikomunikasikan kepada masyarakat dengan menarik dan efektif melalui media sosial. Sehingga pihaknya mendorong bahkan melombakan tiap dinas untuk melakukannya.
Hal tersebut tentu berpengaruh besar dalam membentuk tidak hanya pengetahuan dan pemahaman, tapi juga dukungan publik terhadap kebijakan yang telah, sedang dan akan dilakukan.
Tokoh politik lain yang terpantau aktif dalam brand Journalism lewat media berbasis internet diantaranya.
Dedy Mulyadi mantan Bupati Purwakarta dua periode yang saat ini menjadi anggota DPR RI. Dengan “konten sidak” menyoroti kebijakan publik dan kehidupan sosial sehingga mendapat perhatian masyarakat, termasuk pro kontra tentang kewenangan di akun FB Kang Dedy Mulyadi Chanel.
Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah juga aktif menyebarluaskan aktifitasnya lewat media sosial. Interaksi dengan masyarakat dan berbagai aktifitas selama menjalankan tugas dan kehidupan keluarga.
Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta yang selama ini aktif membagikan kegiatan dan pemikirannya melalui FB, bahkan belakangan meluncurkan Chanel YouTube khusus untuk menyampaikan kebijakan yang ditempuh kepada masyarakat luas.
Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri, termasuk Sandiaga Uno semakin aktif menyampaikan informasi berbagai aktifitasnya selama menjalankan tugas. Hal tersebut tentu bertujuan untuk memberi “laporan” atau setidaknya mengurangi ketidakpastian atas berbagai kebijakan yang telah, sedang dan akan dilakukan.
Tak dipungkiri banyak pihak menganggap “marketing by news” atau “brand Journalism” lebih efektif juga lebih efisien dalam membangun citra, ketimbang “beriklan”.
Meski patut diakui dalam beberapa kebutuhan, “beriklan” secara “hard selling” lebih memberi kepastian akan keutuhan pesan yang disampaikan, sehingga dengan frekuensi yang tepat akan membentuk persepsi yang lebih cepat dan tepat sesuai dengan batas waktu yang diharapkan. Kendati demikian kebutuhan biayanya jauh lebih besar ketimbang dengan publikasi lewat produksi peristiwa atau opini yang layak disebarkan oleh media dan masyarakat.
Perbedaan lain adalah yang pertama, dilakukan secara perlahan-lahan hingga kesan yang terbentuk lebih berakar kuat dan memastikan selalu ada dalam “top of mind” masyarakat. Sementara yang kedua lebih instan dan membentuk persepsi lebih cepat dalam kurun waktu sesuai kebutuhan. Yang kedua ini sangat cocok untuk keperluan komunikasi penanggulangan kedaruratan, jelang pencoblosan dan sejenisnya.
Kombinasi keduanya menjadi formula yang oleh para pakar “media mix strategi” digunakan termasuk untuk kepentingan komersial maupun sosial.
Berbagai isu yang membutuhkan kepedulian dan partisipasi masyarakat juga perlu disampaikan dengan “brand Journalism” terutama mencegah kecenderungan menggurui, terlalu teknis, dan kurang berorientasi pada masyarakat. Sehingga jangan sampai, alih-alih untuk mendapat dukungan eksternal, dapat perhatian internal pun tidak.
Beberapa perusahaan besarpun telah banyak yang memiliki divisi khusus untuk mengkombinasikan antara Brand Journalism dengan iklan murni berbayar. Beberapa diantaranya rajin menciptakan peristiwa dengan menggunakan unsur menyenangkan agar “viral”!
Istilah kekinian yang semakin populer yang tidak hanya membutuhkan kejelian dalam mengamati perkembangan di masyarakat tapi juga imajinasi dan kreatifitas serta kemampuan produksi dan distribusi yang memadai.
Beberapa lembaga sosial dan kemasyarakatan juga telah banyak aktif dengan mengembangkan platform dan akun media digital termasuk media sosial. Namun nampaknya masih banyak yang belum memiliki sumber daya manusia pendukung yang memadai. Dalam pengertian mampu memproduksi dan menyebarluaskan konten dengan kemasan yang menarik perhatian masyarakat yang dituju.
Menyadari hal tersebut, wajar jika “media mainstream” termasuk Koran Pikiran Rakyat coba keluar dari zona nyaman untuk menyesuaikan diri dengan perubahan pola konsumsi media oleh masyarakat.
Radio, televisi dan terutama surat kabar yang memang sejak awal berbasis berita ketimbang hiburan, kini telah banyak yang mereposisi diri bukan hanya sebagai pelengkap, tapi menjadi “clearing house” bagi masyarakat yang memberi kepastian atas berbagai informasi dan bentukan bingkai pemberitaan yang berkembang di media sosial. Dapat dikatakan bahwa berita media cetak telah melewati proses sedemikian rupa sehingga dapat menjadi tolok ukur kebenaran berita di media sosial.
Di sisi lain lewat diversifikasi di media sosial seperti yang dilakukan Koran Pikiran Rakyat, salah satu bentuk upaya memberi ruang untuk mengakomodir kebutuhan mitra usahanya baik dari pemerintah maupun swasta. Sehingga dapat memberi layanan untuk kebutuhan promosi dan pemasaran baik lembaga pemerintah, swasta dan individu sesuai kebutuhan terkini.(*)