Oleh: Niko Yehezkiel, S.Kom, MM*
JAKARTA (Kastanews.com): Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang akan berlangsung pada 14 Februari 2024 ini nampaknya tak kalah menarik dibanding dua pilpres yang telah berlangsung sebelumnya.
Salah satu fenomena menarik yang mencuat dalam perhelatan ini adalah munculnya keluhan, atau complain, yang diarahkan pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai respons dari manuver beliau yang sulit dipahami bahkan oleh mereka yang dalam sepuluh tahun terakhir telah menjadi pendukung setianya. Manuver itu terasa jelas sedang terjadi setidaknya dalam sekitar lima bulan terakhir. Seperti angin, manuver itu menerpa tubuh masyarakat Indonesia, meski tak dapat dilihat secara kasat mata, apalagi dipegang wujudnya.
Awalnya, publik sepertinya belum menyadari adanya upaya Jokowi, atau setidaknya orang-orang di lingkaran terdekatnya, untuk mempertahankan kekuasaan dalam cengkeraman beliau. Publik mungkin terlena dan tak curiga ketika di sekitar pertengahan tahun 2023 yang lalu narasi yang memojokan pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Sukarnoputri, bergulir dan menjadi viral di media sosial.
Narasi tersebut menggambarkan seolah-olah Ibu Mega bersikap “zalim” dan “arogan” dengan mengatakan bahwa tanpa PDIP pak Jokowi tak mungkin mencapai posisi tertinggi di negara ini seperti sekarang ini. Padahal bukankah PDIP menjadi partai utama yang mendukung Jokowi sejak beliau mencalonkan diri menjadi walikota Solo hingga menjadi Presiden RI?
Namun terlepas dari tepat atau tidaknya pernyataan Bu Mega itu, di kalangan publik tak banyak pihak yang mempertanyakan mengapa narasi yang mengangkat “arogansi” Mega itu tiba-tiba muncul dan seolah-olah “diviralkan.” Saat itu belum ada kecurigaan bahwa viralnya narasi di atas dapat saja memang dirancang sebagai alasan (pretext) bagi manuver-manuver Jokowi selanjutnya.
Sebagian dari publik mungkin baru terbangun dari mimpinya ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membuat sebuah putusan yang secara kontroversial membuka peluang bagi anak Pak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk turut serta dalam perhelatan pilpres meski usia beliau pada awalnya dianggap belum memenuhi syarat yang tertulis dalam Undang Undang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2017, yaitu minimum 40 tahun.
Putusan MK yang menggugurkan batas usia khusus bagi calon presiden yang pernah memenangi sebuah pemilihan umum itu dianggap kontroversial oleh publik karena saat itu MK dipimpin langsung oleh Anwar Usman, yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Gibran dan Jokowi melalui perkawinan.
Oleh publik, Anwar yang merupakan paman dari Gibran dianggap berada di belakang terbitnya putusan di atas demi meloloskan Gibran, sang keponakan, untuk menjadi salah satu calon dalam pilpres 2024 mendatang. Penilaian publik di atas tentu ada benarnya. Bukankah sebagai akibat dari tindakannya itu Anwar diberhentikan sebagai ketua MK dengan alasan melakukan pelanggaran etika dalam skala berat?
Namun alih-alih berpihak pada rakyat – yang dapat dilakukan dengan tidak memanfaatkan keputusan kontroversial MK di atas – Jokowi justru memberikan dukungan pada sang anak, Gibran, untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo dalam pilpres mendatang. Jokowi bahkan secara tidak langsung seolah ikut “berkampanye,” antara lain dengan membagikan bantuan sosial berupa sembako dan berbagai kebutuhan hidup lainnya, serta secara tiba-tiba menjadi “rajin” berkunjung ke berbagai daerah.
Pada saat bersamaan, aparatur sipil negara dan lembaga-lembaga yang semestinya netral dalam pemilu, justru terlihat seolah-olah memiliki keberpihakan terhadap pasangan calon Prabowo-Gibran, yang dalam pilpres tanggal 14 Februari ini memperoleh nomor 02 itu.
Yang lebih menimbulkan keresahan lagi, beberapa waktu yang lalu, Jokowi bahkan menyatakan bahwa presiden dan menteri-menterinya boleh berpihak dan berpartisipasi dalam kampanye. Pernyataan ini membingungkan dan mengecewakan karena baru beberapa bulan sebelumnya, Jokowi menegaskan bahwa sebagai presiden dirinya akan menjaga netralitas. Apakah Jokowi kini mengubah sikapnya demi meloloskan sang anak menjadi Wapres? Apakah ia kini menjadi pribadi yang berubah saking sayangnya pada sang anak?
Jawaban bagi pertanyaan di atas nampaknya sulit untuk kita temukan. Mungkin hanya Tuhan dan Jokowi sendiri lah yang mengetahuinya. Yang pasti, apapun yang menjadi latar belakangnya, berbagai manuver Jokowi dalam beberapa bulan terakhir ini berpotensi secara serius menciderai kelangsungan proses demokrasi di negeri kita tercinta ini.
Ini tentu sangat menyedihkan, mengingat perjuangan bagi negara Indonesia yang demokratis bukanlah perjuangan tanpa korban. Darah para pahlawan reformasi telah tertumpah, nyawa mereka pun melayang, untuk sebuah proses yang berlangsung sejak 1998 yang lalu. Di atas pengorbanan mereka, rakyat kini memiliki hak untuk menyampaikan suara secara bebas. Amanat demokrasi ini harus pula diejawantahkan dalam pemilu, yaitu dengan menjamin kebebasan dan kerahasiaan dalam memilih, dan memastikan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pihak-pihak penyelenggara pemilu.
Namun yang terjadi sekarang, sistem yang telah dibangun selama sekitar 26 tahun dengan pengorbanan nyawa dan darah ini seolah dirusak hanya demi ambisi dan keinginan sekelompok orang tertentu saja.
Sayangnya, entah disadari atau tidak, Jokowi, yang pada sekitar sepuluh tahun lalu menjadi harapan bagi tak sedikit masyarakat Indonesia, kini malah berpartisipasi dalam proses pencideraan demokrasi tersebut. Berbagai manuver, dan bahkan pernyataan yang beliau sampaikan berpotensi membuka ruang bagi runtuhnya netralitas para ASN dan penyelenggara pemilu. Bahkan lebih dari itu, manuver dan pernyataan-pernyataan beliau dapat dianggap berpotensi merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri.
Memang betul, sebagai seorang warga negara, Jokowi berhak memiliki keberpihakan terhadap salah satu paslon dalam pemilu. Memang betul, bahkan seorang presiden pun memiliki hak untuk berkampanye bagi dirinya sendiri bila yang bersangkutan turut berkompetensi dalam sebuah pilpres sebagai kandidat presiden untuk lima tahun kedua.
Namun semua hak tersebut telah dinikmati Jokowi lima tahun lalu, dan pada Pilpres kali ini, beliau tak lagi memiliki kwalifikasi untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) karena sudah menduduki posisi sebagai presiden selama dua periode.
Itulah sebabnya, manuver keberpihakan Jokowi menjadi kontroversial dan dianggap bermasalah oleh berbagai kelompok masyarakat.
Pertama, keberpihakan Jokowi dianggap mencederai etika karena posisinya sebagai presiden memungkinkan Jokowi memegang kendali terhadap aparatur, lembaga, dan sumber daya negara. Bila si pengendali berpihak, apa yang menjamin netralitas aparatur dan lembaga negara dalam menggunakan sumber daya negara?
Kedua, mengingat anak kandung beliau menjadi salah satu calon dalam perhelatan pilpres 2024 ini, maka keberpihakan Jokowi takkan bebas dari tuduhan nepotisme dan upaya membangun sebuah dinasti.
Oleh karena hal-hal di atas, akan sangat elok dan bermartabat bila Jokowi dapat mengekang keberpihakannya dan menjaga netralitas dirinya serta seluruh lembaga dan aparatur negara sepanjang perhelatan pilpres 2024 ini berlangsung. Atau bila Jokowi tetap ingin berpartisipasi dalam mendukung pencalonan sang anak, mengapa beliau tidak mengundurkan diri saja dari jabatan sebagai presiden, dan menyerahkan semua kendali kekuasaan terhadap lembaga, aparatur, dan lembaga negara kepada Wakil Presiden, setidaknya untuk sementara waktu sampai perhelatan Pilpres 2024 ini selesai?
Bila langkah ini beliau lakukan, saya yakin, Presiden Joko Widodo akan dikenang sebagai negarawan Indonesia sejati, yang lebih mendahulukan kepentingan bangsa, dari pada kepentingan pribadi, keluarga, atau pun kelompok. Untuk Jokowi yang seperti ini lah, hormat dan penghargaan akan diberikan oleh rakyat Indonesia, hingga akhir waktu.
Namun apakah Jokowi akan melakukan hal yang kita harapkan bersama itu? Apakah Jokowi akan menjadi seorang Negarawan atau perusak Demokrasi? Dalam hemat saya, semua bergantung pada apakah Jokowi masih mempunyai hati nurani yang benar dan amanah !!
Salam Demokrasi & Kebangsaan!!!
* Eksekutif Director, Center for Politics and Public Policy Research