Bos Dewa 19 Kritik Keras terkait Kebijakan Pembayaran Royalti

Bos Dewa 19 Kritik Keras terkait Kebijakan Pembayaran Royalti

JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Musisi Ahmad Dhani angkat bicara terkait kebijakan pembayaran royalti yang diterapkan Wahana Musik Indonesia (WAMI) untuk acara pernikahan.

Menurutnya, sistem yang berlaku saat ini terkesan tidak teratur dan merugikan para pelaku musik. Dhani bahkan menyebut kebijakan WAMI tersebut sebagai sistem yang “ancur” karena dianggap tidak memberikan keadilan bagi para komposer maupun pihak yang menyelenggarakan acara.

Pernyataan pentolan Dewa 19 ini memantik perhatian publik. Terutama para musisi dan penggiat industri hiburan, yang selama ini kerap memperdebatkan aturan main soal royalti di berbagai acara.

Kritik musisi sekaligus anggota DPR tersebut berawal dari informasi bahwa WAMI menetapkan tarif pembayaran royalti untuk acara pernikahan sebesar 2 persen dari biaya produksi musik. Ia menilai kebijakan ini tidak mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan.

Di mana biaya penyelenggaraan pernikahan sangat bervariasi dan tidak semua acara memiliki anggaran besar untuk urusan musik.

“Ini siapa sih yang bikin sistem? Kok ancur banget,” tulis Dhani dikutip dari Instagram @ahmaddhaniofficial, Kamis (14/8/2025).

Suami Mulan Jameela itu menyebut sistem ini justru membuat nasib para komposer semakin terpuruk. Pasalnya, dianggap kurang efisien dalam pendistribusian hasil royalti yang seharusnya dapat membantu kesejahteraan para pencipta lagu. “Pantes nasib komposer ancur,” jelasnya.

Sebelumnya, Head of Corporate Communications & Membership WAMI Robert Mulyarahardja, mengungkap bahwa penetapan tarif royalti telah mengacu pada prinsip hukum hak cipta.

Ia menegaskan, setiap penggunaan musik di ruang publik, termasuk pernikahan, wajib membayar royalti sebagai bentuk penghargaan terhadap hak cipta.

Menurut Robert, besaran tarif royalti untuk musik live di acara pernikahan yang tidak menjual tiket adalah 2 persen dari total biaya produksi musik. Di mana mencakup penyewaan sound system, backline, alat musik, hingga bayaran musisi atau penampil.

“Ketika ada musik yang digunakan di ruang publik, maka ada hak pencipta yang harus dibayarkan. Prinsipnya seperti itu,” ungkap Robert.

“Untuk musik live yang tidak menjual tiket (seperti acara pernikahan), tarifnya 2 persen dari biaya produksi musik (sewa sound system, backline, fee penampil, dan lain-lain),” tambahnya.

Robert juga memaparkan bahwa pembayaran royalti tersebut harus dilengkapi dengan data penggunaan lagu atau songlist yang dibawakan selama acara. Data ini penting sebagai acuan untuk memastikan royalti disalurkan secara tepat sasaran kepada pencipta lagu yang karyanya digunakan.

Setelah pembayaran dilakukan, dana tersebut akan diserahkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang kemudian menyalurkannya kepada berbagai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di bawah naungannya.

“Itu dibayarkan kepada LMKN beserta dengan data penggunaan lagu dari acara tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut, Robert menegaskan bahwa LMK bertugas untuk mendistribusikan royalti tersebut langsung kepada para komposer sesuai dengan daftar lagu yang telah dilaporkan. Proses ini, menurutnya, sudah mengikuti prosedur standar yang berlaku di industri musik internasional.

Dengan sistem ini, WAMI berharap para pencipta lagu mendapatkan apresiasi yang layak atas karyanya, sekaligus mendorong kesadaran masyarakat untuk menghormati hak cipta dalam setiap bentuk acara, termasuk resepsi pernikahan.

“Dan kemudian LMK menyalurkan royalti tersebut kepada komposer yang bersangkutan,” tandasnya.(rah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *