BMKG Ungkapkan Penyebab Banjir Bandang yang Melanda Bali

BMKG Ungkapkan Penyebab Banjir Bandang yang Melanda Bali

JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan penyebab banjir bandang yang melanda Bali, pada 9 September 2025.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, peristiwa itu menjadi bukti bahwa masa peralihan musim juga dapat memicu kondisi ekstrem akibat dinamika atmosfer yang kompleks.

“Jadi ini sudah menjadi suatu empiris ya, fakta empiris. Biasanya masa peralihan itu justru juga bisa terjadi kondisi ekstrem. Kenapa bisa begitu? Nah karena tadi dikatakan dinamika atmosfer yang terjadi saat itu, itu merupakan fenomena, beberapa fenomena yang terjadinya itu bersamaan,” ujar Dwikorita saat Konferensi Pers Prakiraan Musim Hujan 2025 dan Update Kondisi Cuaca, Jumat (12/9/2025).

Ia menjelaskan, pada saat banjir bandang Bali terjadi, terdapat sejumlah fenomena atmosfer yang muncul bersamaan diantaranya adanya aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO) atau arak-arakan awan hujan, aktifnya Gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator.

“Jadi misalnya saat kejadian Bali itu, adanya aktivitas Madden Julian Oscillation yang saat itu aktif sampai hari ini sudah berkurang dan geser ya, hari ini sudah bergeser tidak di wilayah Bali lagi ya. Itu tadi pergerakan arak-arakan awan hujan dari Samudra Hindia sebelah barat Indonesia bersamaan dengan aktifnya Gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator,” jelasnya.

Selain itu, Dwikorita juga menyebut adanya pengaruh Bibit Siklon yang turut memperkuat hujan ekstrem. Fenomena ini, kata dia, sebelumnya diperkirakan hanya terjadi saat musim hujan, namun faktanya juga bisa muncul di musim kemarau maupun masa peralihan.

“Selain ada tadi pengaruh Bibit Siklon, dan fenomena-fenomena itu pun ternyata kalau waktu kita belajar awal tentang meteorologi itu, fenomena-fenomena itu saat itu diperkirakan yaitu kalau terjadinya musim hujan. Tapi ternyata saat musim kemarau pun, fenomena ekstrem itu pun terjadi,” papar Dwikorita.

“Jadi tampaknya ada tren kejadian-kejadian itu yang harusnya tidak terjadi di musim kemarau atau di peralihan jadi mulai fakta menunjukkan itu ternyata bisa terjadi. Kayak ada apa ya sesuatu anomali gitu ya kita sendiri para terutama para pakar sedang mengkaji,” tambahnya.

Pada kesempatan itu, Dwikorita juga mengingatkan kembali fenomena Badai Tropis Seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2021 sebagai contoh anomali cuaca, yang tidak sesuai teori.

“Seperti kejadian badai Tropis Seroja, itu harusnya tidak terjadi di lintang ekuator antara 10 derajat Lintang Selatan dan 10 derajat Lintang Utara. Teorinya itu badai tropis itu selalu bertindak apabila memasuki ekuator. Faktanya terjadi anomali, lahirnya itu di dalam ekuator sehingga menjadi catatan kami adanya beberapa hal yang perlu kita waspadai meskipun itu masih di peralihan,” pungkasnya.(rah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *