Atang Irawan: Soal Keberatan Anwar Usman itu Drakor, Jadi Catatan Buruk Kekuasaan Kehakiman

Atang Irawan: Soal Keberatan Anwar Usman itu Drakor, Jadi Catatan Buruk Kekuasaan Kehakiman

JAKARTA (Kastanews.com): Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem Atang Irawan merespons keberatan Anwar Usman atas keputusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). NasDem memiliki catatan khusus terkait sikap Anwar Usman tersebut.

Anwar sebelumnya melayangkan surat keberatan atas Keputusan MK RI nomor 17 Tahun 2023 tentang pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK masa jabatan 2023-2028.

Atang sejak semula menyadari bahwa formulasi putusan No.2/MKMK/L/11/2023 dengan terlapor Ketua MK, Anwar Usman, membuka ruang untuk dipermasalahkan secara yuridis, atau memuluskan jalan bagi Anwar Usman untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan MKMK tersebut.

“Tidak heran jika Anwar Usman saat ini melakukan upaya administrasi (keberatan) atas Pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK, karena memang tercipta kanal bagi Anwar Usman dalam melakukan upaya perlawanan,” kata Atang kepada wartawan, Jumat (24/11)

Menurut Atang, kanal tersebut sangatlah jelas, pertama bahwa putusan MKMK menabrak norma, karena Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat. Sanksi terhadap “pelanggaran berat” hanya “pemberhentian tidak dengan hormat” dan tidak ada sanksi lain sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Uniknya, lanjut Atang, norma yang sangat tegas dan jelas bersifat imperatif ditafsir dalam putusan MKMK, padahal menurut Atang hal tersebut melompat dari penalaran yang wajar dalam memahami norma pada sebuah peraturan perundang-undangan.

Kedua, Atang menerangkan, menurut Peraturan MK (PMK) Nomor 1/2023 tentang MKMK, Jimly menjelaskan hakim yang dijatuhi sanksi PTDH diberikan kesempatan untuk membela diri atas penjatuhan sanksi tersebut. Pembelaan diri itu dilakukan melalui mekanisme banding, sementara mekanisme bandingnya belum ada aturannya (PMK tentang mekanisme banding).

Sehingga, tidak ada kepastian hukum, bukankah penegakkan etika bagian dari penegakkan hukum karena putusan badan/lembaga etika dapat diajukan upaya gugatan keperadilan Tata Usaha Negara (TUN).

“Apakah asas ius curia novit tidak dapat digunakan dalam menjalankan mekanisme banding, padahal hakim harus dianggap tahu akan hukum dan tidak dapat menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas,” papar Atang.

Ditambahkan Atang, kejanggalan dua itu dalam putusan MKMK menjadi jalan tol bagi Anwar Usman untuk melakukan keberatan administrasi dalam rangka memuluskan upaya gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara.

“Apalagi putusan lembaga/organ yang berwenang menegakan kode etik sangat disadari dan dipahami dapat diajukan keberatan melalui pengadilan Tata Usaha Nnegara dengan terlebih dahulu dilakukan upaya administrasi,” urai Atang lagi.

Lebih lanjut, Atang menekankan, karena MK pulalah yang memutus bahwa putusan lembaga/badan penegak kode etik (DKPP) dapat dajukan upaya gugatan melalui Peradilan TUN sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK No 32/PUU-XIX/2021.

“Inilah sebuah Drakor (drama korea) yang menjadi catatan kritis atas orkestrasi yustisial yang menakutkan bak gelombang tsunami yang memporak-porandakan eksistensi sistem penegakkan hukum di republik ini, bahkan meliuk-liuknya kekuasaan kehakiman dapat mengakibakan turbulensi demokrasi di republik ini,” tandas Atang.

Sebab, tambah Atang, demokrasi tanpa dibarengi dengan independensi kekuasaan kehakiman hanya meletakan demokrasi sebagai sebuah terminologi bukan sebagai cara berpikir kebangsaan dalam merajut semangat membangun demokrasi yang menyandarkan pada amanat tujuan bernegara yang digariskan dalam konstitusi.

Bagi Atang, miris jika ujungnya putusan MKMK kemudian dibatalkan oleh Peradilan TUN karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, karena Peraturan MK (PMK) Nomor 1/2023 tentang MKMK merupakan peraturan perundang-undangan menurut Pasal 8 UU No 12 Tahun 2011.

“Belum lagi sangat dimungkikan bahwa putusan MKMK bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, jika ini terjadi maka catatan buruk yang menunjukan terpuruknya kekuasaan kehakiman dihadapan kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang ditegaskan dalam konstitusi,” pungkas Atang.(rls/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *