KASTANEWS.ID, SURABAYA : DPW Partai NasDem Jawa Timur (Jatim) mengadakan seminar Parenting Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan tema Urgensi Pendampingan Disabilitas dalam Penciptaan Lingkungan yang Inklusi, secara hybrid (daring dan luring) pada Minggu (3/10).
Seminar itu mengundang pemateri Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem, Amelia Anggraini (keynote speaker), Ketua Bidang Kesehatan DPP Partai NasDem, Okky Asokawati, Staf Khusus Presiden, Angkie Yudistia, aktivis disabilitas yang juga Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR, Anggiasari Puji Aryatie, Ketua Yayasan Trada Rajasa Nagara, Faiz Alauddien Reza, dan Kadinsos Jawa Timur, Alwi.
Amelia Anggraini mengatakan, penyandang disabilitas termasuk pihak yang paling terdiskriminasi di dunia, seringkali mengalami kekerasan, prasangka dan penolakan otonomi serta menghadapi hambatan dalam perawatan.
“Meski begitu, disabilitas adalah prioritas pembangunan. Dia memiliki prevalensi yang lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah. Disabilitas serta kemiskinan saling memperkuat satu sama lain,” kata Amelia.
Anggota DPR RI periode 2014-2019 ini juga merinci jumlah penyandang disabilitas di dunia mencapai 1 miliar orang, dan 30 juta di antaranya dari Indonesia.
“Orang dengan disabilitas memiliki kondisi hidup yang tidak baik termasuk makanan yang tidak mencukupi, perumahan yang buruk, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi, dibandingkan orang tanpa disabilitas. Mereka mungkin juga mengeluarkan biaya tambahan dari perawatan medis, alat bantu atau dukungan pribadi saat menghadapi hambatan yang lebih besar untuk bekerja,” terangnya.
Dalam sudut pandang kebijakan, papar Amelia, pelaksanaan sejumlah kebijakan harus ditingkatkan. UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat yang diubah menjadi UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas yang lebih menggunakan pendekatan sosial dan HAM.
“Penyandang disabilitas dipandang sebagai bagian dari keberagaman yang memiliki hak asasi yang sama dan setara dengan individu lainnya. Dengan konsep baru ini, kerangka hukum di Indonesia tidak lagi menganggap penyandang disabilitas sebagai individu yang sakit dan tidak mampu,” ujar Amelia.
Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada 2007 dengan mengeluarkan UU No. 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Kemudian, tambah Amel, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 52/2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas dan PP Nomor 70/2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Begitu lengkapnya peraturan, lanjut Amelia, guna mewujudkan inklusivitas terhadap penyandang disabilitas.
Amel mendorong agar pemerintah mulai mengembangkan masterplan strategi mewujudkan pembangunan inklusif penyandang disabilitas di Indonesia.
“Masterplan merupakan pedoman bagi berbagai pihak untuk menerapkan prinsip dasar pembangunan inklusif di berbagai sektor melalui pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas atas akses terhadap berbagai layanan dasar dan pekerjaan tanpa stigma. Masterplan perlu memuat strategi peningkatan keberdayaan penyandang disabilitas dan pengarusutamaan isu disabilitas,” kata Amelia.
Amelia juga menyoroti pembenahan data penyandang disabilitas agar tersedia dataset penyandang disabilitas yang tunggal, representatif secara nasional, reliabel, valid, dan mutakhir.
“Selain itu, dibutuhkan data penyandang disabilitas berdasarkan nama dan alamat (by name, by address) untuk kepentingan penargetan program,” lanjutnya.
Kompleksitas pengarusutamaan penyandang disabilitas tentu harus juga ditinjau dari berbagai aspek untuk menciptakan inklusivitas di berbagai aspek.
“Bukan hanya pendidikan, namun juga menyentuh di segala lini seperti kesehatan, tenaga kerja, ketersediaan fasilitas khusus di ruang publik hingga mewujudkan kesejahteraan bagi semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali,” pungkas Amelia.(rls/ND/*)